PENGERTIAN HUKUM
a. Pengertian Hukum
Hukum adalah Himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang mengurus tata tertib suatu lingkungan maasyarakat.
Pada lingkungan masyarakat semua orang menjadi pendukung dan kepentingan yang akan mereka amankan sebaik mungkin. Pengamanan kepentingan ini akan dapat menjamin keseimbangan dalam hubungan antara hubungan masyarakat.
Hukum hanya berlaku dalam suatu pergaulan masyarakat
Pada lingkungan inilah kepentingan-kepentingan dapat bertubrukan satu dengan lainnya.
Peraturan hukum memiliki ciri memaksa yaitu adanya perintah atau larangan dan harus ditegakkan dengan cara paksa. Bila tidak ditaati, hakim dapat mengenakan cara-cara paksa tertentu (sanksi), hukuman atau ganti kerugian (dalam hukum perdata).
b. Sumber Hukum
Sumber hukum yaitu segala sesuatu dari mana orang dapat mengenal bermacam-macam peraturan yang berlaku di dalam masyarakat dan oleh hukum dianggap sebagai yang pada hakekatnya merupakan peraturan-peraturan yang mempunyai ketentuan hukum.
Sumber hukum dapat berupa :
Tulisan-tulisan, dokumen-dokumen, naskah-naskah dari mana dapat diketahui hukum yang berlaku di suatu bangsa dalam masa tertentu.
Sumber hukum yang utama : Undang-undang.
Undang-undang yaitu setiap keputusan pemerintah yang menentukan peraturan-peraturan yang mengikat. Peraturan keselamatan kapal termasuk Undang-undang dalam arti luas (materiil). Sedangkan pengertian undang-undang dari segi formil = Ketetapan yang diputuskan berdasarkan undang-undang Dasar oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekuatan perundang-undangan bersumber dari Undang-Undang Dasar. Setiap produk hukum, kebijaksanaan pemerintah harus berlandaskan/bersumberkan peraturan yang lebih tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan pada UUD 1945.
Selain UU maka Kebiasaan dapat menjadi sumber hukum. Bila kebiasaan itu diterima masyarakat, maka timbul kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Sumber hukum ketiga Yurisprudensi (Keputusan Hakim). Bila kebiasaan tidak memberikan peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara, maka Hakim harus membuat peraturan sendiri yang dikemudian hari dalam mengadili perkara serupa dapat dijadikaan Sumber Hukum bagi pengadilan.
Sumber hukum yang lain Pengetahuan
Sebelum mnegeluarkan keputusan para hakim mengkaji dalam buku-buku dan penerbitan-penerbitan ilmiah mengenai suatu persoalan.
Perjanjian merupakan sumber hukum selanjutnya.
Bila dua pihak atau lebih mengadakan kata sepakat tentang sesuatu hal yang melahirkan suatu perjanjian, maka pihak-pihak yang bersangkutan akan terikat isi perjanjian yang mereka adakan itu. Berarti harus ditepati dan ditaati.
c. Pembidangan Hukum
Hukum dapat dibagi menurut azasnya antara lain :
1. Menurut Kekuatan bekerjanya :
- Undang-Undang Dasar,
- Tap MPR,
- Undang-Undang
- Perpu (Peraturan Pemerintah),
- Keppres (Keputusan Presiden),
- Kepmen (Keputusan Menteri),
- Keputusaan Dirjen Perla.
2. Menurut Isinya
a. HUKUM PRIVAT (Sipil)
Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepentingan perorangan.
- Hukum Sipil arti luas : Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
- Hukum Sipil arti sempit : Hukum Perdata saja.
Hakekatnya Hukum Dagang dan Hukum Perdata tidak ada suatu perbedaan yang pokok, keduanya mengandung prinsip dan pengertian yang sama.
Terkaitnya kedua hukum tersebut dalam pasal 1 KUHD : bahwa untuk segala peristiwa dan perbuatan dalam lapangan perniagaan itu diliputi oleh peraturan-peraturan yang termuat baik KUHD maupun KUHPer, kecuali diatur tersendiri dalam KUHD.
Kekurangan dalam KUHD (peraturan khusus) akan dilengkapi oleh peraturan umum dari KUHPer.
b. HUKUM PUBLIK (Negara)
Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dan alat-alat perlengkapannya, Negara dengan perseorangan dan Negara dengan Negara.
Hukum Publik terdiri dari :
- Hukum Tata Negara
- Hukum Administrasi Negara
- Hukum Pidana (Hukuman) : hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan hukumnya serta mengatur cara-cara mengajukan perkara-perkara.
- Hukum Internasional
HUKUM LAUT
Yaitu rangkaian peraturan dan kebiasaan hukum mengenai laut yang bersifat :
- Keterpadatan: menyangkut kepentingan perorangan
- Publik : menyangkut kepentingan umum
Hukum Laut Keterpadatan : mengatur hubungaan-hubungan perdata yang timbul karena perjanjian-perjanjian perdata.
Contoh :
- Perjanjian-perjanjian pengangkutan menyeberang dengan kapal laut niaga.
Hukum ini merupakan matra dari hukum pengangkutan.
Hukum pengangkutan merupakan bagian dari Hukum Dagang termasuk Hukum Privat.
Hukum Laut Publik (Kenegaraan)
Obyek dari peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan baik nasional maupun internasional adalah laut dan berisikan hak-hak dan kewajiban bagi negara yang berbatasan pada laut tersebut.
Hukum Laut Nasional telah berkembang pesat akibat dari perkembangan Internasional yang memerlukan adanya ketentuan-ketentuan Hukum Laut yang dapat menjawab kebutuhan keadaan mendesak. Untuk menjamin terselenggaranya sejumlah kepentingan nasional. Hukum Publik Internasional dapat menjadi sarananya.
Dalam Hukum Laut Publik termasuk Laut Wilayah, Zona Tambahan dan Zone Ekonom Eksklusif.
Laut Wilayah : wilayah lautan yang berjarak 12 mil dari garis kasar (air surut = Low water). Untuk samudera diukur dari pulau terluar ditarik garis lurus dan tidak bolah > 100 mil.
LW = LAUT WILAYAH ZEE = Zone Economic
ZT = ZONE TAMBAHAN Eclusive
Dilaut bebas dilarang :
1. Perbudakan
2. Bajak Laut (Piraty)
3. Pemancar Gelap (Illegal Broadcast)
4. Lalu lintas narkotik
5. Pencemaran (Pollution)
Hot Pursuit : pengejaran suatu kapal yang tertangkap tangan melanggar suatu hukum didaerah laut wilayah. Hanya sampai 200 mil (High sea).
Sesuai UNCLOS 1982 semua kapal asing boleh lewat Lintas Damai dengan syarat :
1. Tidak boleh melanggar Undang-Undang Imigrasi, Bea Cukai.
2. Harus lewat dengan cepat
3. Tidak boleh mengadakan pengamatan
4. Kapal Perang senjata tidak boleh dalam keadaan siap.
5. Tidak boleh meluncurkan Pesawat terbang.
6. Kapal Selam harus berada di permukaan air.
Sijil Kapal
a. Sijil Kapal
Sijil kapal termasuk surat-surat kapal yang harus ada di kapal sewaktu berangkat meninggalkan pelabuhan. Kapal yang berangkat tanpa sijil kapal terlibat dalam suatu pelanggaran.
Sijil Kapal : suatu daftar yang berisi nama-nama awak kapal yang dibuat dihadapan pegawai pendaftaran awak kapal (Syahbandar/diluar negeri Konsul).
Sijil kapal mempunyai bentuk yang sudah ditetapkan, merupakan Akta otentik dan dibuat rangkap dua,. Diatur dalam pasal 341, 375 dan 376 KUHD dan bersifat Deklaratif.
Setelah penyijilan Nahkoda (kapal) menerima 1 eksemplar disertai Buku Pelaut, Salinan PKL dan PKK yang telah diketahui oleh pengawai penyijilan. Sijil kapal ditanda tangani oleh Nahkoda dan pegawai pendaftaran awak kapal.
Isi Sijil Kapal : nama kapal, pelayaran, nama pengusaha, nama Nahkoda, nama awak kapal, kedudukan kerja awak kapal, penunjukan perwira kapal.
Menurut pasal 375 KUHD :
- Sijil kapal yaitu daftar semua orang yang harus melakukan dinas sebagai awak kapal.
- Dinas awak kapal yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang diterima untuk bekerja dikapal kecuali Nahkoda.
b. Penyijilan
Penyijilan yaitu pembuatan sijil kapal yang dapat dilakukan untuk waktu tertentu atau untuk sejumlah perjalanan.
Pada waktu penyijilan Pengusaha kapal menyerahkan :
- Perjanjian kerja yang diadakan dengan awak kapal
- Perjanjian kerja kolektif yang masih berlaku
Nahkoda menyerahkan :
- Pengangkatannya sebagai nahkoda
- Ijazah yang diperlukan untuk jabatannya.
- Keterangan kesehatan.
Awak kapal menyerahkan :
- Buku Pelaut yang masih berlaku
- Keterangan Kesehatan
- Ijazah atau sertifikat ketrampilan
- Surat permohonan Pengusaha kapal (Penyijilan dikapal/dikantor perusahaan).
Setelah awak kapal pada sijil kapal lengkap, Dukumen ini ditanda tangani Nahkoda, Pengusaha kapal/Wakil dan pegawai pendaftaran awak kapal (setelah diyakini pemenuhan persyaratan perijazahan dan pemahaman isi PKL).
Arti dari Sijil Kapal dan Penyijilan
Hubungan antara Sijil Kapal dan PKL adalah identik dengan hubungan antara Manifes muatan dan Konosemen.
Setelah Sijil ditanda tangani, awak kapal mulai Dinas dikapal kecuali jika pada sijil tersebut dicantumkan tanggal berlakunya. Awak kapal menempatkan diri dibawah kekuasaan Pengusaha kapal, dan dengan mulainya Dinas dikapal maka awak kapal tersebut berada di bawah Kekuasaan Disipliner dari Nahkoda dan tunduk pada Pasal KUHD yang berlaku.
Dinas awak kapal hanya dibenarkan dikerjakan oleh orang yang telah mengadakan PKL dan menanda tangani Sijil Kapal. Kecuali : penumpang gelap, tenaga pengganti, pandu, dan lain-lain.
c. Buku Pelaut
Buku Pelaut diserahkan kepada setiap orang yang memintanya dan diterbitkan oleh Dirjen Perhubungan Laut. Isi Buku pelaut : nama, tempat dan tanggal lahir, kebangsaan, keluarga, alamat darurat, ijazah dan tanda tangan.
Fungsi Buku Pelaut : pengukuhan dan penyijilan (sign on) dan pelepasan (sign off) yang masing-masing dilakukan oleh Syahbandar dan Nahkoda.
Buku pelaut tidak dicantumkan penilaian prilaku serta pemuatan upah.
- Pihak pengusaha kapal mencatat dalam Buku Pelaut Perjanjian kerja yang diadakan dengan awak kapal.
- Pegawai Pendaftaran awak kapal mengisi buku pelaut dengan keterangan tanggal, kedudukan, perjalanan, waktu dan lain-lain.
d. Buku Harian Kapal
Dalam KUHD pasal 348 Nahkoda harus mengusahakan penyelenggaraan buku Harian Kapal . Nahkoda dapat mengerjakan sendiri atau menugaskan seorang awak kapal (Mualim I) tapi tetap dalam pengawasan Nahkoda tentang pengisian dengan benar, lengkap dan berdasarkan peraturan-peraturan.
Nahkoda kapal yang tidak menyelenggarakan Buku Harian kapal/tidak mempertunjukan buku itu dikenakan sanksi denda sesuai KUHP pasal 562. (Pelanggaran Pelayaran)
Buku Harian merupakan Dokumen yang penting sekali berisi penjabaran perjalanan yang dapat dipercaya dengan catatan yang dipertimbangkan secara seksama dan disusun secara teliti, setiap kejadian dicatat.
Buku ini berfungsi sebagai bahan pembuktian dan merupakan Sumber data bagi Hakim jika terjadi sengketa.
Bagi Pemrintah Buku Harian kapal digunakan untuk alat pengawasan terhadap kapal, nahkoda dan para pelayar.
Walaupun tidak dilarang secara khusus oleh UU : Penyobekan halaman, penambahan halaman, pengosongan halaman, perobahan, penambahan, pencoretan pencatatan tambahan, tidak terbaca isinya, semuanya dapat mengurangi kekuatan pembuktian Buku Harian Kapal.
Kapal yang berukuran isi kotor 500 m3 atau lebih harus menyelenggarakan Buku Harian Kapal dan Buku Harian Mesin, sedangkan kapal yang dilengkapi Radio Telegraphy/Telephony dengan Buku Harian Radio.
Yang harus dicatat dalam Buku Harian Kapal :
- saat buka/tutup pintu kedap air, tingkap-tingkap dan lain-lain.
- Latihan sekoci/kebakaran dan alasan tidak dilakukan latihan.
- Keadaan sumber tenaga darurat.
- Alasan mengapa tidak menolong setelah terima isyarat darurat.
- Sarat kapal saat ditolak.
- Nama nahkoda, perwira dan setiap mutasi yang terjadi.
Di bagian muka Buku Harian Kapal terdapat penunjuk halaman yang memberi keterangan :
- kelahiran dan kematian di kapal
- Mutasi antar awak kapal
- Kecelakaan/kerusakaan yang dialami
- Pengeringan, perbaikan
- Latihan-latihan berkala
- Pembukaan/penutupan pintu kedap air, tingkap.
- Pemuatan muatan berbahaya
- Catatan jumlah pekerja muatan.
Khusus waktu kapal mengalami keadaan luar biasa seperti cuaca buruk, pengisian buku harian kapal harus seteliti mungkin karena akan diperlukan sebagai bahan pembuktian. Jika pihak Asuransi dituntut ganti rugi pihak Kapal (tertanggung) harus dapat membuktikan kerusakan akibat peristiwa laut, bukan karena ketidak naik lautnya kapal tersebut.
Memperlihatkan Buku Harian Kapal
Nahkoda wajb menyerahkan buku harian kapal pada Syahbandar atau Konsul, sedikitnya 6 bulan terakhir. Dirjen Perhub laut menentukan saat-sat mana dan kepada siapa Buku Harian diserahkan :
- Sekurang-kurangnya 1 kali tiap bulan takwin, jika tidak dapat dipenuhi, di tempat pertama yang disinggahi.
- Jika selama 2 bulan takwin berturut-turut dengan alasan yang sah tidak punya kesempatan menyerahkan ditempat pertama.
Tiap pemeriksaan yang dilakukan oleh Syahbandar harus memberikan Eksibitum (pencatatan dengan nomor dan tanggal dokumen) dalam Buku Harian Kapal.
KARANTINA
Pengertiannya
Karantina yaitu suatu tindakan untuk mencegah tersebar luasnya sesuatu penyakit atau sesuatu yang diduga penyakit tertentu tercantum dalam Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation 1969)
Dikapal dapat dilakukan Mengisolasikan kapal (dikarantina) jika penyakit berjangkit dikapal, dapat sampai memusnahkan kapal/muatan atau mengisolasikan awak kapal. Tapi bila berjangkit didarak awak kapal diimunkan supaya jangan ketularan.
a. Penyakit Karantina
1. Penyakit Kolera
* Masa inkubasi = 5 hari
* Vaksinasi kolera untuk dinyatakan sehat
* Kapal dianggap terjangkit, jika ada kasus penyakit kolera dalam 5 hari sebelum tiba.
* Kapal dianggap tersangka jika terjadi kasus penyakit kolera selama pelayaran, tapi sebelum 5 hari tiba di pelabuhan.
* Kapal dinyatakan sehat jika Kesehatan Pelabuhan setelah menerima laporan, memeriksa dan puas dengan hasil pemeriksaannya, walaupun kapal datang dari pelabuhan yang terjangkit.
* Tibanya kapal yang terjangkit :
* Pelayar dan Nahkoda yang Vaksinasinya berlaku diawasi sebagai tersangka selama 5 hari.
* Pelayar dan Nahkoda yang Vaksinasinya tidak berlaku, dikarantina selama 5 hari.
* Barangnya Pelayar dan Nahkoda yang ada di kapal dianggap ditulari.
* Pembuangan sampah, kotoran, air got, dilarang tampa Ijin Kesehatan Pelabuhan.
2. Demam Kuning
* Masa inkubasinya 6 hari
* Vaksinasi perlu jika berangkat dari daerah terjangkit.
* Vaksinasi yang masih berlaku dapat membebaskan seorang dari tersangka, walaupun datang dari daerah terjangkit.
* Kapal dianggap terjangkit bila ada kasus Demam Kuning dikapal selama pelayaran, dianggap sebagai tersangka, jika kapal meninggalkan pelabuhan tersangka kurang 5 hari sebelum tiba/telah meninggalkan pelabuhan terjangkit lebih 30 hari, tapi perlu Aegypi.
3. Cacar
* Masa Inkubasi 14 hari
* Vaksinasi sebagai syarat untuk menghindari karantina, bila datang dari daerah terjangkit.
* Kapal dianggap terjangkit bila ada kasus cacar selama pelayaran.
* Kapal terjangkit dianggap sehat, bila orang yang belum terkena cacar divaksinasi /setelah kapal di karantina selama tidak lebih 14 hari.
* Kapal yang sehat diberi Free Pratique, walaupun dari daerah terjangkit.
4. Pest
b. Istilah Karantina
1. Free Practique berarti ijin dari Kesehatan Pelabuhan untuk kapal memasuki pelabuhan guna bongkar muat barang /penumpang (untuk kapal sehat)
2 Daerah terjangkit berarti daerah dimana dilaporkan penyakit menular kemungkinan besar menular karena mobilitas penduduk/kegiatan penduduk.
Kapal Terjangkit berarti yang terdapat kasus penyakit menular (karantina) dalam waktu masa inkubasi masing-masing penyakit sebelum tiba di pelabuhan.
3. Isolation yaitu pembatasan seseorang dari orang lain untuk mencegah penularan (karantuna terhadap seseorang)
4 Kapal tersangka yaitu kapal yang mengalami kasus penyakit menular selama pelayaran, tapi melebihi masa inkubasi masing-masing penyakit sebelum tiba di pelabuhan. Penyakit Pes jika banyak ditemukan tikus mati tanpa dikatahui penyebabnya.
5 Disinsecting yaitu tindakan yang dilakukan untuk membunuh serangga penyebab penyakit pada manusia dikapal/tempat lain.
6 Karantina yaitu keadaan yang diciptakan oleh Dinas Kesehatan terhadap kapal untuk mencegah berkembangnya penyakit, sumber penyakit ataaau faktor penyebab keluar dari daerah yang dikarantinakan.
Ordonansi Karantina
1. Ordonansi berlaku : semua kapal, kecuali kapal isi kotor 10 m3 atau kurang, kapal pandu/kepolisian.
2. Kapal yang dikarantina hanya boleh dimasuki pejabat/personil :
a. Pandu laut/bandar
b. Syahbandar atau yang ditunjuk
c. Pejabat Kesehatan Pelabuhan
d. Pejabat Kepolisian, Kejaksaan/Kehakiman, Bea cukai
e. Pejabat pelaksana disinsecting/derating
f. Pejabat Kerohanian : Imam,. Pastor
g. Pemilik kapal, Agen atau Perwakilan pengusaha kapal
h. Pengurus muatan /Super cargo.
3. Siapapun tidak diijinkan meninggalkan kapal selama karantina, kecuali pejabat yang diijinkan dari darat dan petugas-petugas dari kapal dengan sarana sekoci untuk tugas khusus (pos) dengan ketentuan memasang semboyan karantina sekoci.
4. Selama karantina pengobatan dan pengawasan atas gejala penyakit diawasi terus oleh Pejabat Kesehatan Pelabuhan, dan dibantu Nahkoda sepenuhnya.
5. Kapal terjangkit dinyatakan bebas bila :
a. Setelah 2 x masa inkubasi sejak kasus penyakit tersebut terakhir selesai, tidak terlihat gejala-gejala baru.
b. Setelah tiga bulan semenjak gejala aktivitas virus terakhir, untuk penyakit demam kuning yang bukan disebabkan oleh Aedes Aegypti.
c. Setelah tiga bulan semenjak kasus penyakit terhadap manusia berakhir bila penyakit demam kuning oleh Aedes Aegypti.
d. Setelah satu bulan semenjak tikus yang terjangkit terakhir ditemukan/diperangkap untuk penyakit pes.
e. Setelah tiga bulan semenjak penyakit pes yang terakhir terlihat, untuk penyakit pes yang disebabkan oleh tikus liar.
7 Pencegahan terhadap berjangkitnya/menularnya penyakit Karantina
1. Tiap kapal di pelabuhan memasang penahan tikus (rat guard) untuk mencegah tikus turun ke dermaga atau naik kekapal.
2. Tiap kapal harus menjaga supaya sertifikat Pembasmi Pembebasan Tikus tetap berlaku.
3. Tiap kapal harus menjaga bahwa setiap awak kapal divaksinasi/vaksinasinya tetap berlaku.
4. Tiap kapal mengisi International Declaration of Health untuk kapalnya dengan sejujur-jujurnya.
8 Semboyan Kesehatan
1. Bendera “Q”Saya minta free Practique.
(minta Pejabat Kesehatan untuk meneliti Kesehatan Kapal, sehingga kapal dapat ijin masuk pelabuhan).
2. Bendera “W”: Saya minta bantuan kesehatan.
3. Bendera “Q”diatas bendera “Q”: kapal saya tersangka, terdapat kasus penyakit karantina lebih dari 5 hari yang lalu atau terdapat tikus mati yang relatif banyak dikapal.
4. Bendera “Q”diatas bendera “D” : kapal saya terjangkit terdapat kasus karantina dalam 5 hari terakhir.
5. Lampu Merah 1,8 m diatas lampu Putih : saya belum mendapat Free Practique
6. Dua lampu Putih bersusun tegak keliling dengan jarak 2 m pada jarak paling sedikit 2 mil : saya minta Free Practique.
KEDUDUKAN HUKUM
KAPAL YANG TERDAFTAR
Pengertian Kapal
Angkutan laut diselenggarakan oleh kapal-kapal laut. Adapun yang dimaksud dengan kapal laut adalah kapal yang digunakan untuk pelayaran di laut ( KUH Dagang Pasal 30 ). Sedangkan tentang pengertian Kapal, terdapat dalam KUH Dagang pasal 309 : “Kapal adalah semua alat berlayar dengan nama dan dari jenis apapun”. Menurut ketentuan ini dengan kapal dianggap termasiuk alat perlengkapannya, yaitu segala sesuatu yang tidak merupakan bagian dari kapal dan diperuntukkan pemakaian secara terus menerus seperti jangkar, pedoman, sekoci dan lain-lain. Catatan ini penting, khususnya dalam penjabaran dari berbagai persetujuan mengangkut kapal.
Kedudukan Hukum Kapal
Menurut KUH Perdata pasal 510, Kapal tergolong sebagai “benda bergerak”. Dengan demikian berlakulah ketentuan-ketentuan benda bergerak untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan kapal. Ada Undang – Undang yang menetapkan pengecualian, antara lain tentang penghipotekan, yang menurut KUH Perdata pasal 1162 dibatasi pada benda-benda tidak bergerak dan tidak berlaku untuk benda-benda bergerak ( pasal 1167 ). KUH Dagang pasal 314 menetapkan bahwa kapal yang telah di daftar dapat diletakkan hipotek. Dalam pasal yang sama ditambahkan bahwa atas kapal tidak dapat diletakkan hak gadai.
Terlepas dari hal tersebut diatas, sifat sebagai benda bergerak diatur pada penerapan sejumlah ketentuan KUH Perdata, antara lain dalam pasal :
- 473 : Penjualan barang bergerak sebagai warisan;
- 546 : Berakhirnya kebendaan bergerak ( hilang / dicuri )
- 555 : Kedudukan tubuh benda bergerak dalam proses tuntutan hakim
- 787 : Perobahan pada hak pakai hasil;
- 1012 : Pelaksanaan wasiat;
- 1077 : Penilaian harga taksir;
- 1095 : Pemasukan benda bergerak pewaris;
- 1144 : Hak – hak penjual barang bergerak;
- 1096 : Penitipan barang bergerak.
Pendaftaran Kapal
Untuk menghindari suatu kevakuman hukum diatas kapal, maka kapal wajib memiliki kebangsaan. Persyaratan untuk memperoleh kebangsaan, adalah kapal sudah dibukukan dalam Daftar ( Register ) Kapal. Mengingat bahwa ketentuan pasal 314 KUH Dagang dimaksudkan untuk Kapal Laut ( pasal 310 ), maka yang terkena ketentuan ini adalah Kapal Laut. Sedangkan yang dimaksud dengan Kapal Indonesia adalah menyangkut pemilikan oleh warga negara Indonesia ( pasal 311 ). Bahwasannya pendaftaran kapal di Indonesia hanya untuk Indonesia di latar belakangi persyaratan pendaftaran untuk memperoleh kebangsaan yang dokumennya adalah Surat Laut. Dalam dokumen terdapat kalimat tentang perlindungan Negara kepada pemegangnya. Selain perlindungan tersebut, kapal tunduk pada Indonesia dan berhak mengibarkan bendera Indonesia.
Walaupun menurut KUH Dagang pasal 314, pendaftaran “dapat” dibukukan dalam Daftar ( Register ) Kapal, pada kenyataannya pendaftaran kapal merupakan sesuatau yang wajib, mengingat :
- Merupakan prasyarat untuk memperoleh kebangsaan ( UU No. 21 Tahun 1992 pasal 50 );
- Kewajiban Nahkoda untuk menyimpan akta. Pendaftaran di Kapal ( KUH Dagang pasal 347 );
- Di kapal harus ada ikhtisar Daftar Kapal ( KUH Dagang pasal 374 );
- Sanksi pidana untuk Nahkoda jika tidak mempunyai Akta Pendaftaran ( KUH Pidana pasal 561 ).
Daftar ( Register ) Kapal adalah susunan administrasi, buku dan lampiran-lampiran yang diselenggarakan di kantor-kantor Syahbandar dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kapal Laut, Kapal Pendalaman dan kantor Syahbandar diselenggarakan :
- Daftar Harian : pencatatan rincian akta-akta;
- Daftar Induk : ringkasan akta-akta.
Sedangkan di kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut diselenggarakan Daftar Induk dari tiap pelabuhan serta untuk menghindari pendaftaran ganda di pelabuhan-pelabuhan lain.
Segera setelah kapal didaftarkan, maka oleh Ahli Ukur Kapal disela dengan memuat keterangn tentang tahun, nama tempat pendaftaran dan nomor pendaftaran. Akta pendaftaran diterbitkan setelah Ahli Ukur Kapal menyerahkan pernyataan tentang telah diselarkannya data-data tersebut diatas. Pendaftaran dicoret dalam kapal :
- tenggelam atau dirampas bajak laut atau musuh;
- terkena ketentuan pelepasan hak pihak Tertanggung ( KUH Dagang pasal 667 );
- kehilangan kebangsaan Indonesia.
Kapal asing yang sedang dibangun di galangan Indonesia dapat di daftarkan sementara yang berakhir saat kapal digunakan.
KETERKAITAN
PEMILIKAN KAPAL, PENGUKURAN KAPAL, PENDAFTARAN KAPAL DAN KEBANGSAAN KAPAL
Bukti Kebangsaan
Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, sebuah kapal harus memiliki kebangsaan adalah Surat Laut dan Pas Kapal. Peraturan Pemerintah cq. Ordonansi Surat Laut dan Pas Kapal 1935 yang mengatur prosedur mendapatkan dokumen kebangsaan.
Kewajiban Pemilik Kapal untuk meminta Surat Laut tidak sidertai suatu sanksi hukum. Namun demikian pengadaan Surat Laut dijamin oleh persyaratan lain dan secara tidak langsung oleh suatu ketentuan hukum. Menurut KUH Dagang pasal 347, seorang Nahkoda wajib menyimpan di kapal surat-surat kapal diantaranya pertama adalah Surat Laut. Sedangkan Peraturan Bandar 1925 pasal 7 menetapkan tentang kewajiban Nahkoda untuk menyerahkan surat-surat kapal antara lain Surat Laut kepada Syahbandar, setiba di suatu pelabuhan. Pelanggaran atas kewajiban ini, dikenakan sanksi benda ( pasal 25 ), apabila berada di luar negeri, Nahkoda dibebani kewajiban untuk penanda tanganan Surat Laut oleh pihak Konsul. Selain peraturan Perundang-undangan Nasional, Hukum Internasional melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 menetapkan keharusan setiap Negara memiliki persyaratan pemberian kebangsaan kepada kapal yang mencakup hak pengibaran bendera dan kaitan sejati (genuine link) antara Negara dan Kapal.
Pemilikan Kapal
Baik dalam Peraturan Pendaftaran Kapal 1933 ( pasal 11 ) maupun Peraturan Surat Laut dan Pas Kapal ( pasal 6 ) disebutkan bahwa pada surat permohonan untuk mendapatkan masing-masing Akta Pendaftaran dan Surat Laut, harus dicantumkan Pemilik Kapalnya. Adapun bukti pemilikan kapal dapat Kontrak Pembangunan Kapal ( Sertifikat Galangan ) atau Surat Jual Beli. Sedangkan menyangkut persyaratan Pembangunan Kapal maupun pembelian, tidaklan dipersoalkan pada proses pendaftaran dan kebangsaan. Dari kedua perangkat hukum diketahui bahwa pemilikan kapal harinya berlaku untuk warga negara Indonesia. KUH Dagang pasal 311 yang mengatur tentang pengertian kapal Indonesia, mengacu kepada Keputusan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 pasal 2 yang menyebutkan bahwa kapal Indonesia adalah Kapal yang pemiliknya Warga Negara Indonesia atau 2/3 Warga Negara Indonesia dan 1/3 penduduk Indonesia. Dengan pentapan ini diharapkan adanya suatu ikatan dengan Indonesia baik yang bersifat perorangan maupun bersifat kewilayahan ( teritorial ).
Termasuk pengertian Warga Negara Indonesia adalah perusahaan-perusahaan yang tempat pusat kegiatannya berada di wilayah Indonesia ( Keputusan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 pasal 2 ). Pada hakekatnya sebuah perusahaan bukanlan Warga Negara Indonesia, mengingat kewarga negaraan merupakan suatu atribut perorangan, yaitu hubungan orang dengan kepentingan masyarakat nasional. Namun demikian, perusahaan dan yayasan dapat dipersamakanstatusnya dengan warga negara. Diadakannya ketentuan ini dilatarbelakangi agar pada kapal-kapal Indonesia lebih banyak terpaut kepentingan Indonesia.
Pengukuran Kapal
Menurut Ordonansi Pengukuran Kapal 1927 pasal 1, sebuah kapal yang diperuntukkan berlayar dengan Surat.
Sedangkan dalam peraturan pendaftaran Kapal 1933 pasal 12 ditetapkan bahwa pada permohonan untuk pendaftaran harus disertai Surat Laut atau Pas Kapal Indonesia serta pembebanan Hipotek harus diukur. Dengan demikian persyaratan Surat Ukur berlaku baik untuk mendapatkan bukti kebangsaan maupun untuk pendaftaran kapal. Keterkaitan pengukuran dengan pendaftaran kapal dipertegas dengan penyertaan Ahli Ukur Kapal dalam pemasangan Tanda Selar sebagai persyarat penerbitan Akta Pendaftaran ( Peraturan Pendaftaran Kapal 1933 pasal 16 )
Tujuan dari pengukuran adalah untuk mengetahui besarnya kapal. Ukuran kapal diperlukan dalam penetapan peraturan-peraturan antar lain pendaftaran kapal, kebangsaan, konvensi-konvensi Internasional, keselamatan pelayaran, pencemarran laut dan pengawakan.
Harus ada keseimbangan antara besarnya kapal dengan isi yang dapat dimanfaatkan ( muatan ), daya angkut dan displacement. Konvensi Pengukuran Kapal 1969 merupakan perangkat penyederhanaan perhitungan pengukuran, dimana dari isi bersih ( nett tonage ) diketahui ruangan yang dapat dimanfaatkan untuk muatan maupun penumpang. Pembayaran sejumlah jasa yang diberikan Pemerintah seperti biaya pelabuhan di dasarkan pada data-data dari Surat Ukur. Hal ini yang melatar belakangi adanya Surat Ukur khusus yang berlaku di terusan Suez dan terusan Panama.
Peraturan – peraturan Keterkaitan
Ordonansi Surat Laut dan Pas Kapal 1935 pasal 5 menetapkan bahwa pada surat permohonan untuk Surat Laut di lampirkan :
- Surat Pernyataan bahwa kapal memenuhi persyaratan tentang “Kapal Indonesia” ( pemilik adalah Warga Negara Indonesia );
- Petikan Akta Pendaftaran;
- Surat Ukur.
Peraturan Pendaftaran Kapal 1933 pasal 12 menetapkan penyertaan dokumen-dokumen berikut pada permohonan untuk Kata Pendaftaran :
- Surat Ukur;
- Sertifikat Galangan atau Surat Jual Beli;
- Surat Pernyataan Pembuktian Kapal Indonesia.
Ordonansi Pengukuran Kapal 1927 pasal 1, berisikan prasyarat pengukuran untuk kebangsaan. Selain Kapal Indonesia, kapal asingpun dapat diukur sesuai perjanjian yang ada.
HIPOTEK DAN HAK GADAI
Ruang Lingkup Penghipotekkan
Penhipotekkan atau jaminan utang terjadi karena kebutuhan dana / pembiayaan dalam pengadaan kapal, mengatasi biaya-biaya operasional kapal dan perluasan usaha. Pemilik Kapal menggunakan kapal untuk dijadikan jaminan dalam perolehan pinjaman. Sedang dari pihak Bank ada kesediaan untuk memberikan uang berdasarkan jaminan tersebut.
Keuntungan dari hipotek adalah bahwa kapal tetap berada pada tangan pemiliknya. Jaminan berupa hipotek biasanya menyusul suatu perjanjian kredit. Hipotek diatur dalam KUH Perdata dan pengertiannya menurut pasal 1162 adalah “hak kebendaan atas benda-benda bergerak untuk penggantian dari padanya bagi pelunasan dari perikatan”. Mengingat bahwa menurut KUH Perdata pasal 510, bergerak dapat diletakkan hipotek. Hal mana dirobah melalui KUH Dagang pasal 314 yang menetapkan bahwa kapal Indonesia berukuran paling sedikit 20 M3 isi kotor dapat dibukukan dalam Daftar ( Register ) Kapal. Selanjutnya kapal yang sudah terdaftar dapat diletakkan hipotek. Ada dua masalah penting mengenai hipotek kapal :
- kedudukannya dalam kaitannya dengan berbagai piutang-piutang yang didahulukan berdasarkan ketentuan undang-undang;
- pelaksanaan eksekusi hak hipotek.
Piutang-piutang seperti :
Biaya lelang sita ( eksekusi ), piutang yang lahir dari perjanjian ketenagakerjaan dengan Nahkoda dan Awak Kapal, upah penolongan / pandu laut / pelabuhan dan lintang, karena tubrukan kapal didahulukan pelunasannya dibandingkan dengan hipotek. Oleh karena itu, pihak kreditur khususnya Bank, biasanya disamping hak hipotek meminta jaminan ( agunan ) tambahan.
Masalah lain yang menyangkut hipotek kapal adalah mengenai eksekusi. Pemegang hipotek mempunyai hak untuk melakukan tuntutan bagi pemenuhan piutangnya atas benda jaminan yang bersangkutan apabila piutang tidak dapat ditagih dan debitur ternyata melakukan pelanggaran janji. Kreditur berwenang untuk malaksanakan eksekusi secara langsung terhadap barang yang bersangkutan tanpa perantaraan Hakim, mengingat grosse akta hipotek mempunyai kakutan eksekutorial dan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri. Hal ini biasanya dicantumkan dalam akta hipotek yang bersangkutan. Namun berdasarkan KUH Perdata pasal 1178, penjualan benda jaminan harus dilakukan melalui lelang umum.
Ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang Penghipotekan Kapal
Sejumlah ketentuan KUH Perdata berlaku juga untuk kapal, antara lain pasal-pasal :
- 1168 : Pengalihan hanya oleh pihak yang berkuasa memindah tangankan;
- 1169 : Syarat – syarat pembatalan;
- 1171 : Pembuatan dengan akta otentik;
- 1175 : Peletakan hanya pada benda yang sudah ada;
- 1176 : Jumlah uang harus pasti dicantumkan dalam akta;
- 1177 : Tidak boleh menuntut penambahan hipoteh oleh si berpiutang;
- 1178 : Batalnya janji isi si berhutang memiliki henda;
- 1185 : Pembatasan kekuasaan si berhutang menyewakan tanpa izin si berpiutang.
Prosedur Hipotek Kapal
Pemilik kapal sebagai debitur ( pihak yang berhutang ) dan Bank sebagai kreditur membuat perjanjian kredit dibawah tangan atau dengan bentuk akta notaris, dimana didalam perjanjian tersebut terdapat klausula bahwa kapal akan diserahkan sebagai hipotek untuk menjamin atas kredit yang diberikan oleh pihak kreditur. Pinjaman uang adalah perikatan pokok, sedangkan hipotek disini merupakan parikatan tambahan ( accesoir ) menjadi jaminan pemenuhan perikatan pokok tersebut. Dengan demikian, tidak akan terjadi hipotek kapal tanpa adanya perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokok Pihak Bank sebelum menyetujui pembebanan hipotek, pada sebuah kapal, akan mempertimbangkan integritas dari peminjam, keadaan pasar muatan dan keuntungan dari pemberian hipotek. Sedangkan sebagai persyaratan, kapal harus dikelaskan. Selanjutnya Bank akan menunjuk seorang ahli untuk menghitung besarnya nilai kapal yang dijadikan jaminan.
Hak Gadai ( Lien )
Pengertian “gadai” disini bukanlah sebagai jaminan dimaksudkan dalam KUH Perdata pasal 1150. menurut KUH Dagang pasal 314, untuk kapal yang terdaftar tidak dapat diletakkan hak gadai. Hak gadai yang disebutkan disini adalah “lien”, yaitu suatu proses hukum berupa penahanan ( retensi ) yang dapat ditempuh seseorang dalam keadaan tertentu, untuk menegakkan pemenuhan suatu tuntutan ( claim ). Lien dibidang perkapalan terdiri dari hak lien :
- Pemilikan ( penguasaan );
- Maritim.
Dari hal lien penguasaan, terdapat hak lien khusus yang mengatur hak seseorang yang menguasai barang-barang untuk menahan penguasaan sampai pemiliknya menguasai pembayaran yang berkaitan dengan barang-barang tersebut.
Hak Lien Pemilik Kapal
Pada umumnya, Pemilik Kapal memiliki hak lien atas muatan yang diangkut dengan kapalnya untuk :
- Uang tambahan;
- Bagian pembayaran muatan dalam Averasi Umum;
- Pembayaran Penolongan.
Dalam menerapkan hak lien atas muatan, Pemilik Kapal dapat manahan barang-barang yang uang tambahannya harus dibayar. Untuk Averasi Umum penggunaan hak lien mengalami kendala perhitungan besarnya pembayaran masing-masing pemilik muatan, sehingga jaminan pembayaran lebih mudah dilakukan melalui perjanjian Averasi Umum ( general average bond ) dan uang muka ( cash deposit ) .
Jika dilakukan penolongan kapal yang telah menelan biaya, maka pihak pemilik kapal dapat mengenakan hak lien atas muatan. Selain hak-hak lien diatas, pihak pemilik kapal dapat pula menerapkan hak tersebut untuk :
- Demurrage;
- Dead freight;
- Voyage charter;
- Time charter.
Hak Lien Maritim
Hak Lien Maritim adalah hak untuk menahan ( arrest ) kapal dalam rangka pemenuhan sebuah tuntutan ( claim ). Hak lien dapat dilakukan dengan lien gadai kontrak terjadi sehubungan dengan pembayaran berdasarkan sebuah perjanjian, seperti pertanggungan, penggugatan, penolongan, upah Nahkoda / Awak Kapal. Hak lien kerusakan terjadi karena kerusakan akibat tubrukan kapal.
PENYELENGGARAAN ANGKUTAN BARANG
Pengaturan Hukum
Undang – undang No. 21 tahun 1992, Pelayaran menggantikan Indische Shceepvaartewet 1936 ( Undang - undang Pelayaran 1936 ) menetapkan bahwa pelayaran adalah salah satu modal transportasi untuk memperlancar arus perpindahan orang / barang ( pasal 3 ). Pembinaan Pelayaran dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan undang – undang lain serta Konvensi Internasional dibidang pelayaran.
Apabila kapal digunakan untuk kepentingan pihak-pihak lain makam akan timbul hubungan hukum melalui persetujuan-persetujuan yang diatur dalam undang–undang. Kelompok terpenting adalah persetujuan pengangkutan. Pengaturan hukum dari kelompok ini terdapat dalam bab kelima A dan B dan buku kedua KUH Dagang. Pada tanggal 1 Pebruari 1927, KUH Dagang menampung hukum laut yang telah diperbaharui dan untuk sebagian disesuaikan dengan Hague Rules 1924. peraturan ini berlaku hampir 50 tahun, sampai saat disempurnakan dengan Hague Rules 1968. adapun perkembangan hukum pengangkutan telah dimulai abad ke 17, 18 dan 19 dan bersumber dari Hukum Sipil ( Perdata ) umum. Pada tanggal 1 Juli 1893 berlaku Undang – Undang di Amerika Serikat yang mengatur syarat-syarat pengangkutan yang dikenal sebagai Undang – undang Harter. Undang – undang dimana disusul Hague Rules 1924 dan 1968 memberikan perhatian khusus kepada kepentingan pemilik muatan.
Pengangkut
Menurut KUH Dagang pasal 466, Pengangkutan adalah pihak yang meningkatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang. Ikatan dimana terdiri dari kewajiban membawa barang dan menyerahkannya kepada pihak penerima barang. Selama pengangkutan, yaitu sejak saat diterimanya barang sampai saat penyerahannya, pihak Pengangkut bertanggung jawab atas keselamatan barang. Hal mana berarti bahwa kedatangan dan penyerahan barang harus dilaksanakan dalam keadaan yang tidak kurang dibandingkan saat diterimanya. Baik KUH Dagang ( pasal 468 ) maupun Hague Visby Rules ( Article II ) menetapkan bahwa pihak Pengangkut dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita pihak pemilik muatan. Mengingat akan besarnya penggantian kerugian kepada pemilik muatan, kepada pihak pengangkut diberikan sejumlah kelonggaran dalam bentuk pembatasan tanggung jawab mengganti kerugian ( Liability ) dan sejumlah kekebalan. KUH Dagang pasal 470 menyatakan bahwa untuk satu pasang barang yang diangkut Pengangkut hanya bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi tidak boleh kurang dari Rp. 600,00 per koli, kecuali jika sebelum barang diserahkan kepadanya, ada pemberitahuan tentang sifat dan harga barang tersebut. Karena jumlah Rp. 600,00 merupakan terjemahan dari angka Nfl. 600,- maka pada umumnya perusahaan-perusahaan pelayaran memilih pertimbangan komersial
Charter waktu mulai kapal diserahkan kepada pihak Pencharter dan berakhir saat penyerahan kembali kepada Pemilik Kapal. Menjelang penyerahan dan penyerahan kembali diadakan survei mengangkut bahan bakar. Keadaan kapal dan kelalaian palka / tangki untuk pengangkutan muatan. Biaya survey penyerahan dibebankan kepada Pemilik Kapal, sedangkan untuk penyerahan kembali kepada Pencharter perhitungan jumlah sisa bahan bakar dimaksudkan untuk memudahkan pihak Pencharter dalam pembayarannya. Hal yang sama berlaku untuk penyerahan kembali, sehingga pihak Pemilik Kapal dapat memanfaatkan perbedaan harga yang menguntungkan antara pelabuhan terakhir dan pelabuhan penyerahan kembali.
Dan dihitung perhari dengan satuan bobot mati musim panas ( summer deadweight ). Contoh : satu dwt = $ 7.50, pebulan untuk kapal berukuran 20.000 dwt menjadi $ 150.000 pebulan atau $ 5.000 perhari. Pihak Pencharter dapat menghentikan pembayaran sewa ( off hire ), jika terjadi hal-hal berikut : pengedokan, tindakan mempertahankan efisiensi kapal, gangguan awak kapal / pembekalan, pemogokan Nahkoda dan Awak Kapal, kerusakan mesin / winch, kerusakan kapal dan deviasi.
Salah satu syarat khas Charter Waktu menetapkan bahwa apabila kapal tidak diserahkan pada saat yang disepakati, pihk Pencharter dapat membatalkan serta selanjutnya jika kapal belum diserahkan pada tanggal pembatalan ( canselling date ), pihak Pencharter dapat menyatakan dalam waktu 48 jam setelah menerima pemberitahuan, apakah akan membatalkan atau tetap menerima penyerahan.
Charter Perjalanan
Charter perjalanan ( berbeda dengan Charter Waktu ) adalah selalu disebuah persetujuan pengangkutan ( pasal 453, 455, dan 521 KUH Dagang ).
Jika untuk Charter Waktu tidak dipermasalahkan kerugian waktu, maka untuk Charter Perjalanan Undang – Undang justru menetapkan sejumlah ketentuan rinci menyangkut waktu muat dan waktu bongkar ( pasal 518 q – 518 g )
Sehubungan dengan pemakaian kapal, kedudukan dari Pencharter Perjalanan tidak sebesar Pencharter Waktu jika yang disepakati tentang pengangkutan muatan penuh, maka berlaku pula hak penuh ruangan sebagaimana berlaku untuk Pencharter Waktu ( pasal 518 l ).
Waktu pemuatan diberitahu oleh pihak Pemilik Kapal jika kapal ditempuh pemuatan siap dimuat dan berlaku pada hari berikutnya ( pasal 518 q ). Lazimnya lama waktu pemuatan ditetapkan melalui jumlah hari labuh sedangkan hari labuh lebihnya dibayar pihak Pencharter, kecuali dalam konstraknya dicantumkan denda. Uang labuh lebih disebut “demanage” dan lawannya adalah uang labuh cepat atau “despatch money”.
Pihak Pencharter pada umumnya selain pemberitahuan ( Notice of Readiness ), juga mnsyaratkan bahwa kapalnya sudah tiba ( di tempat yang dapat dilakukan kegiatan pemuatan ) serta siap untuk dimuat ( palka dan perlengkapan ).
Untuk pemberlakuan hari labuh ( Laydays ) ditetapkan beberapa jenis hari labuh :
- Laydays, hari-hari yang disepakati untuk kegiatan pemuatan dan pembongkaran yang jika di gabung disebut “reversible laydays”;
- Days and running days, berarti hari takwin dan lamanya 24 jam, termasuk hari libur: jenis hari ini merugikan pihak Pencharter sehingga ditambahkan
- SHEX ( Sundays and Holidays expented )
- Working days, tidak termasuk hari-hari libur;
- WWD ( Weather Working Days ), jika cuaca buruk sehingga pekerjaan terhenti, tidak termasuk perhitungan laydays. Mengingat bahwa pembayaran sewa dilakukan dengan uang tambang ( jenis muatan ), maka apabila jumlah muatan adalah kurang, pihak Pencharter mambayar kekurangan atau “dead freight” kecuali terdapat klausul denda.
Sedangkandalam hal muatan yang dikapalkan merupakan muatan yang uang tambangnya lebih rendah khususnya Pencharter bukan Pengapal dimana tanggung jawab Pencharter hanya terbatas sampai pengapalannya ( Cesser Clause ), maka perlu ditambahkan hak “lien” Pemilik Kapal untuk tambang, demourage dan average.
Untuk pengamanan, pihak Pemilik Kapal dapat melakukan penahanan Konosemen selama belum terpenuhinya kewajiban-kewajiban Pemilik Muatan.
PENYEWAAN RUANG KAPAL
Ketentuan – ketentuan Umum
Charter terbagi dalam Waktu dan waktu perjalanan ( KUH Dagang pasal 453 ). Undang – undang melalui Bab kelima menjabakan sejumlah ketentuan tentang perjanjian Charter. Adapun sebuah Charter Perjalanan selalu merupakan perjanjian pngangkutan, sedangkan Charter Waktu tidaklah demikian halnya. Perbedaan khas antara Charter Waktu dan Charte Perjalanan dapat dijabarkan sebagai berikut : “Ciri dari Charter Waktu adalah pembayaran suatu harga yang dihitung menurut kurun waktu, terlepas dari sejauh mana pihak Pencharter memanfaatkan jasa-jasa kapal, yaitu jumlah atau jenis barang yang diangkut, lama perjalanan yang sesungguhnya, jumlah pekerjaan penggandengan yang dilakukan dst. Sebaliknya pada Charter Perjalanan, yang bertujuan mengangkut jumlah tertentu barang atau penumpang, harganya adalah imbalan balik untuk penyelenggaraan angkutan ini”. Pada Charter Waktu, fokusnya adalah penggunaan menurut waktu tertentu dan jumlah imbalan Pencharter berupa pembayaran harga yang dihitung sesuai kurun waktu. Pada Charter Penrjalanan penggunaannya untuk pengangkutan suatu perjalanan tertentu. Risiko pada Charter Waktu menjadi beban Pencharter, sedangkan pada Charter Perjalanan adalah beban Pemilik Kapal. Jika pihak Pencharter Perjalanan mengakibatkan kerugian waktu, maka yang bersangkutan membayar biaya kelebihan hari labuh atau ganti kerugian.
Masing-masing pihak berhak meminta pembuatan suatu akta untuk persetujuannya yng disebut sebagai Charter Party.
Di dunia Perkapalan Internasional terdapat dua lembaga yang menangani penyusunan syarat-syarat persetujuan Charter :
- the Baltic and International Maritime Conference ( BIMCO ) yang berkedudukan di Kopenhogen;
- the Chamber of Shipping of the the United Kingdom ( CSUK ) di London.
Dokumen-dokumen hasil kedua lembaga tersebut adalah GENCON untuk perjalanan tunggal dan BALTIME untuk Charter Waktu. Sedangkan untuk angkutan minyak lembaga INTERTANKO yang berkedudukan di Osio melakukan pengawasan dengan penerbitan dokumen yang digunakan adalah “Tanker Voyage C/P” atau juga dikenal sebagai “London Form”. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa memiliki dokumen sendiri seperti Shell Time, Beeree Time, Texmaco Time dst. Sedangkan untuk kapal-kapal barang umum dan curah, digunakan dokumen New York Produce Exchange ( 1996 ), Baltime ( 1939 ) atau Liner time ( 1968 ).
Karena pemalsuan dokumen ( Rasi Mualim ). Selain Surat Jaminan yang diterbitkan oleh Pihak Pengapal, terdapat surat jaminan dari Pihak Penerima barang yang diserahkan untuk pengambilan barang yang konosemen aslinya belum diterima : jaminan Bank ( Bank Guarantee ). Dokumen dibuat oleh pihak Bank mengingat arus dokumen yang dikirim melalui Bank seperti invoice, export, licance, packing list, insurance, dan certificate of loading.
Keterkaitan dengan Charter
Apabila konosemen diterbitkan oleh kapal yang terkait perjanjian Charter, maka ada kemungkinan adanya perbedaan antara syarat-syarat Konosemen dan syarat-syarat C/P sehingga menimbulkan keraguan. Untuk mengatasi hal tersebut ditetapkan beberapa ketentuan :
- Apabila Konosemen dipegang Pihak Pengapal yang juga menjadi pihak Pencharter, maka dokumen ini berkedudukan sebagai bukti penerimaan saja dan bukan sebuah dokumen perjanjian.
- Barang yang diangkut dengan syarat-syarat Konosemen, jika pihak Pengapal bukan Pihak Pencharter.
Konosemen yang diterbitkan oleh kapal yang terikat perjanjian Charter Waktu, maka kedudukannya adalah :
- Dalam Bareboat Charter, Konosemen selalu antara Pencharter dan Pengapal;
- Dalam Time Charter, biasanya antara Pemilik Kapal dan Pengapal. Jika Pencharter mengadakan persetujuan uang tambang dengan pihak Pengapal dan mengeluarkan serta menandatangani Konosemen dengan berkepala namanya, maka perjanjian diadakan antara Pencharter dan Pengapal.
Syarat Caspiana membenarkan pembongkaran muatan untuk pelabuhan yang dilanda pemogokan di setiap pelabuhan yang aman atau tanpa halangan.
Syarat Himalaya mengatur perpanjangan – pembatasan tanggung jawab yang dimiliki Pengangkut ke Karyawan dan para agen. Syarat London diadakan untuk kapal-kapal pelayaran tetap ( liner ) melakukan jadwal yang tepat ( pemberian fsilitas, dll ).
Penandatanganan Konosemen
Menurut KUH Dagang pasal 505, Nahkoda berhak menerbitkan Konosemen, kecuali jika ada orang lain yang ditugaskan untuk itu. Sebelum ditanda tangani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Bentuknya harus sesuai yang ditetapkan pihak Pemilik Kapal yang di tetapkan perjanjian Charter;
- Tanggal sesuai waktu pengapalan;
- Resi Mualim yang menunjukkan barang sudah berada di kapal serta keadaan barang telah diserahkan;
- Syarat-syarat tambahan yang diperlukan dan syah, telah dimasukkan;
- Uang tambang, jika disyaratkan sebagai pembayaran dimuka telah dibayar;
- Jika di charter, hak-hak Pemilik Kapal telah dipenuhi ( laydays, demurage )
Beberapa Catatan dalam Konosemen
Fungsi asli dari Konosemen adalah sebagai tanda terima. Dengan fungsi ini muncul persoalan tentang jumlah barang dan keadaannya sewaktu di kapalkan.
Hague Nisbah Rules menyatakan perlunya pencantuman dalam Konosemen keternagan tentang jumlah, urutan dan keadaan.
- “Apparent good order and condition”, merupakan Konosemen bersih dan berlaku untuk keadaan dari luar, mengingat pihak Pengangkut tidak memiliki sarana untuk menilai keadaan di dalamnya;
- “Quality and condition unknown”, dimaksudkan keadaan dalam dari muatan ( quality = sifat dari dalam dan condition = yang terlihat dari luar );
- “Said to contain”, sebuah catatan yang merupakan pengulangan keterangan pihak Pengapal dan Pengangkut;
- “Under protest”, menyusul penandatanganan Konosemen oleh Nahkoda, jika dalam dokumen ini dicantumkan hal-hal yang bertentangan dengan kebijaksanaan pengangkut.
Surat – surat Jaminan
Untuk keperluan perdagangan Konosemen tidak dibenarkan memuat keterangan palsu menyangkut keadaan barang. Namun, dibalik itu pihak Pengapal membutuhkan Konosemen yang bersih untuk penyelesaian pembayaran. untuk itu diajukan kepada Nahkoda atau agen perusahaan sebuah dokumen yang dikenal sebagai “Letter of Indemnity” atau “Back Letter” dimana pihak Pengapal memberikan jaminan sehubungan dengan kerugian yang akan dihadapi sebagai akibat penerbitan konosemen bersih. Dokumen yang diterbitkan itu tidak memiliki kekuatan hukum apapun, sehingga jika dikemudian timbul sengketa hukum, pihak Nahkoda dapat dipersalahkan.
Menurut KUH Dagang pasal 506, Konosemen adalah surat bertanggal dimana pihak Pengangkut menerangkan telah menerima barang untuk diangkut ke tujuan tertentu dan menyerahkan kepada pihak-pihak yang ditunjuk. Dengan demikian fungsi konosemen adalah sebagai berikut :
- Tanda terima;
- Bukti Perjanjian;
- Dokumen pemilikan.
Selanjutnya ada fungsi tambahan sebagai sarana Negosiasi.
Jenis-jenis Konosemen berdasarkan KUH Dagang pasal 506 adalah Konosemen “atas nama”, “atas petunjuk” dan “kepada pembawa”.
Konosemen diterbitkan oleh pihak Pengangkut atas permintaan pihak Pengapal yang menyerahkan resi mualim. Dokumen penerimaan ini merupakan kewajiban pihak pengangkut ( KUH Perdata pasal 1339 ). Pengalihan pihak penerima untuk konosemen atas nama hanya dapat dilakukan dengan sebuah Akte Sesi ( KUH Perdata pasal 613 ). Penunjukan pihak penerima untuk konosemen atas petunjuk dilakukan dengan endosemen ( KUH Dagang pasal 508 ), yaitu penandatanganan sekali pada bagian luar konosemen.
Jumlah lebar Konosemen yang dapat diperdagangkan adalah dua (KUH Dagang pasal 507 ), untuk mana berlaku ketentuan “kesemuanya untuk satu dan satu untuk kesemuanya”.
Selain terdapat konosemen yang dapat diperdagangkan ( negotiable B / L ), Konosemen terbago dalam :
- Konosemen bersih ( clean B / L ) : tanpa catatan ( kerusakan / hilang ) dibubuhkan keterangan “Shipped in Good Order and Condition”;
- Konosemen catat ( foul B / L ) : terdapaot catatan;
- Konosemen Pengapalan ( shipped B / L ) : barang sudah dikapalkan;
- Konosemen penerimaan ( received B / L ) : barang berada pada pihak pengangkut;
- Konosemen langsung ( direct B / L ) : barang ada di satu kapal;
- Konosemen lanjutan ( through B / L ) : pengangkutan dengan kapal-kapal yang berlainan;
- Konosemen gabungan ( combined transport B / L ) : modal transport yang berlainan ( truk, kereta api, kapal );
- Konosemen terbuka ( open B / L ) : tanpa menyebutkan pihak penerima.
Syarat – syarat Konosemen
Syarat utama ( Paramount clouse ) menyatakan tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku ( KUH Dagang COGSA ). Syarat Cassatoria berisikan penetapan tentang keterikatan pihak Pengapal / Penerima akan ketentuan-ketentuan konosemen sekalipun bertentangan dengan kebiasaan lokal, syarat New Jason, merupakan syarat yang dimasukkan ke dalam konosemen dari kapal yang berlayar dari dan ke Amerika Serikat. Syarat ini menetapkan Pemilik Muatan harus turut mambayar kerugian dalam General Average. Pencantuman syarat New Jason, mengingat berlakunya UU Harter ( 1893 ) yang melarang pembebanan biaya kepada pemilik Muatan jika kerugian tersebut berasal dari pengangkut melalui negosiasi. Pihak pengangkut tidak dapat membatasi tanggung jawabnya jika kerugian / kerusakan diakibatkan kesengajaan, kecerobohan atau sepengetahuan pihak. Kesenjangan yang sama terjadi pad pembatasan ganti rugi tanggung jawab global pengangkut yang berdasarkan KUH Dagang pasal 474 yang adalah Rp. 50,- untuk tiap meter kubik isis bersih kapal. Adapun Hague Visby Rules menggunakan 10.000 gold prancs untuk tiap potong barang atau 30 gold prancs perkilo dalam ukuran berat kotor. Francis yang dimaksud adalah satuan dari 65,5 miligram emas.
Sedangkan menyangkut kekebalan, Hague Rules menetapkan 17 jenis, namun 3 persyaratan sebagai tindak kewajaran ( due diligence ) harus dipenuhi terlebi dahulu : laik laut, pengawakan / perbekalan / perlengakapn dan laik muat. Tiga (3) persyaratan dilaksanakan sebelum ada pada awal pelayaran.
Ketujuh belas kekebalan adalah : kesalahan Nahkoda, Pandu atau Karyawan dalam bernavigasi atau pengelolaan kapal, kebakaran, bahaya, malapetaka, kecelakaan laut, tindakan diluar kemampuan manusia ( act of god ), perang, tindakan kerusuhan, penahana / penyitaan karena proses hukum, karantina, pelanggaran oleh pihak pemilik muatan, pemogohan, kerusuhan, kerusakan barang, penyelamatan jiwa / benda, penyusutan, pengemasan, merkah-merkah, cacat tersembunyi, sebab-sebab diluar kesalahan pengangkut.
Adapun yang dimaksud dengan “sebelum dan awal pelayaran” adalah waktu dimulainya pemuatan sampai saat kapal bertolak. Kegagalan menerapkan tindakan selama waktu yang di syaratkan, maka pihak Pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pihak Pemilik Muatan.
Sehubungan dengan kesalahan pengangkut dalam mengelola kapal, hanya berkaitan dengan hal-hal yang mengena kapal, sebagai sebuah kapal dan bukan yang langsung berkaitan dengan muatan.
Kekebalan karena kebakaran mencakup kerusakan yang diakibatkan karena pemadamannya. Namun demikian perlu diperhatikan ketentuan York – Antwera Rules yang memungkinkan penampungan dalam General Average. Dalam rangka memanfaatkan kekebalan “bahaya, malapetaka dan kecelakaan laut atau perairan yang dapat di layari” pihak Pengangkut harus dapat membuktikan bahwa yang dihadapi adalah cuaca buruk yang tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak ada persiapan penangkalannya. Pengertian tentang “tindakan diluar kemampuan manusia ( Act Of God ) adalah setiap kecelakaan akibat sebab-sebab alamiah langsung maupun secara khusus tanpa keterlibatan manusia dan juga tidak dapat dicegah oleh perkiraan kemanusiaan serta pengorbanan dan kehati-hatian yang wajar antara lain badai, topan, petir, banjir dan lain-lain.
Untuk “tindakan perang” adalah termasuk perang saudara ( Civil War ) berarti Pengertian “Musuh Masyarakat ( public enemie ) adalah musuh negara seperti operasi militer dan termasuk pula pembajak.
“Pembatasan Karantina” di adakan karena ketentuan-ketentuan Pemerintah yang berakibat kerugian pada pemilik muatan seperti larangan mendaratkan ternak yang terkena penyakit, timbulnya penyakit tertentu di kapal, penyemprotan ( fumigasi ) dan seterusnya.
NAHKODA
Menurut ps. 341 KUHD : nahkoda memimpin kapal, kepadanya diberikan kekuasaan umum atas semua orang yang berada di kapal ( pelayar ). Pelayar harus mentaati perintah yang diberikan demi keselamatan serta tegaknya ketertiban. Sedangkan kekuasaan terhadap awak kapal lebih besar kekuasaan disipliner. Dengan kekuasaannya nahkoda dapat menjatuhkan hukuman / sanksi terhadap pelanggar.
FUNGSI NAHKODA
1. Nahkoda sebagai Pemimpin Kapal ( ps. 341 KUHD )
Memimpin dalam arti mengelola, melayarkan, dan mengarahkan kapal. Diatas kapal nahkoda adalah pemimpin tertinggi sehingga jika direktur perusahaan kapal berada diatas kapal maka ia harus tunduk atas putusan nahkoda dalam hal pengelolaan kapal.
2. Nahkoda sebagai Pemegang Kewibawaan ( ps. 384,385.386 KUHD )
Memberikan kekuasaan kepada Nahkoda untuk menertibkan kapal. ABK harus taat dan patuh kepada Nahkoda, tidak ada alasan apapun yang memberikan hak kepada ABK untuk menentang Nahkoda karena setiap penentangan merupakan pelanggaran hukum. Tetapi setiap perintah yang tidak pantas bisa diadukan kepada yang berwajib.
3. Nahkoda sebagai Abdi Hukum ( ps. 387,388,390,391,394a , KUHD )
Dalam hal ini Nahkoda bertindak sebagai jaksa/pembantu jaksa dan polisi / pembantu polisi, sehingga Nahkoda dalam menaggulangi suatu perkara boleh menahan seseorang untuk pengamanan dan pemrosesan perkaranya untuk dituangkan dalam berita acara yang kemudian diserahkan kepada kejaksaan / kepolisian di pelabuhan berikut.
Dalam memroses / perkara Nahkoda sedapat-dapatnya mengajak berunding 2 perwira kapal, maencari bukti-bukti dan saksi-saksi. Kemudian menulis semua keterangan dalam buku harian kapal dan buku register hukuman yang kemudian salinannya dilampirkan dalam berita acara yang diserahkan kepada kejaksaan / kepolisian.
Demi untuk keamanan nahkoda boleh menahan / mengurung ABK yang mengalami pelanggaran sampai maksimum 3 hari sebagai hukuman disiplin.
4. Nahkoda sebagai Pegawai Pencatatan Sipil
Kejadian yang dicatat yang menyangkut catatan sipil : kelahiran, kematian, perkawinan.
Dilahat dari kejadian dan peraturan pelaksanaannya hanya kelahiran dan kematian yang mungkin terjadi diatas kapal, sedang perkawinan memerlukan persyaratan-persyaratan dan tidak darurat sehingga jarang dilaksanakan.
Dalam kelahiran dan kematian nahkoda diharuskan bertindak sebagai petugas catatan sipil dengan mencatat semua kejadian di dalam buku harian kapal dengan disaksikan 2 orang saksi.
Dalam mencatat kematian tidak boleh menyebutkan sebab-sebab kematian, karena kepastian penyebab kematian diberikan oleh orang yang berwenang/ akhli otopsi. Nahkoda menyerahkan surat keterangan / berita acara yang diserahkan ke catatan sipil atau konsulat di pelabuhan berikutnya, kemudian baru dibuatkan akte kelahiran atau akte kematian.
5. Nahkoda sebagai Notaris ( ps. 947,937 KUH Perdata )
Notaris secara umum adalah seorang saksi yang mengetahui seluk beluk persoalan yang disaksikannya dan diakui pemerintah.
Surat-surat yang dibuat notaris :
- surat warisan
- surat jual beli
- surat perjanjian
bilamana diminta nahkoda bisa bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat warisan , dimana si pewaris tidak memungkinkan menemui pejabat yang berwenang.surat warisan tersebut ditanda tangani oleh si pewaris, nahkoda dan saksi. Surat warisan hanya berlaku sampai 6 bulan semenjak akhir pelayaran, kecuali sesudahnya disimpan oleh notaris setelah terlebih dulu membuat akte penyimpanan ( ps.932, 952 KUH Perdata )
6. Nahkoda sebagai wakil Perusahaan Pelayaran / Pengusaha Kapal
Nahkoda dapat mewakili pengusaha kapal dalam hal :
- penanda tanganan PKL ( ps. 397 KUHD )
- pengaturan tugas ABK
- muatan
- penanda tanganan B/L
- pemungutan uang tambang atau upah-upah lain
- memperlengkapi kapalnya untuk pelayaran
- sebagai tergugat atau penggugat untuk perusahaan dalam proses pengadilan
- peminjaman uang denga menggadaikan kapalnya untuk meneruskan pelayaran
- mempekerjakan penumpang gelap ( ps. 371 a KUHD )
- pembatalan sahnya surat-surat atau sertifikat untuk mengajukan peninjauan kembali
7. Nahkoda sebagai wakil Pemilik Muatan
Jika terjadi :
- kapal disita atau ditahan, nahkoda mengambil tindakan sebagai wakil pemilik barang untuk
menanggulanginya ( ps. 369 KUHD )
- memerlukan biaya untuk muatan, nahkoda boleh menjual muatannya. ( ps. 371 KUHD )
KEWAJIBAN DAN WEWENANG NAHKODA
1. KEWAJIBAN NAHKODA
Melakukan tugas dengan kecakapan pelaut yang baik. ( ps. 342 KUHD )
- Mentaati peraturan-peraturan laik laut, perlengkapan dan pengawaan. ( ps. 343 KUHD )
3. Pemakaian pandu. ( ps. 344 KUHD )
4. Larangan meninggalkan kapal bila dalam keadaan bahaya. ( ps. 345 KUHD )
5. Perawatan barang milik pelayar yang meninggal. ( ps. 346 KUHD )
6. Penyelenggaraan buku harian kapal. ( ps. 347 KUHD )
7. Penyelenggaraan buku register hukuman. ( ps. 352 a KUHD )
- pembuatan kisah kapal / sea protest. ( ps. 353 KUHD )
- Pemberian pertolongan kepada orang-orang dalam bahaya. ( ps. 358 a KUHD )
- Membawa pelaut-pelaut indonesia dari luar negeri. ( ps. 358 b KUHD )
- Menyusun awak kapal dan menyelenggarakan pembongkaran dan pemuatan. ( ps. 359 KUHD )
- Mentaati perintah dari pengusaha kapal selama tidak bertentangan dengan UU . ( ps. 364 KUHD )
- Tidak boleh menyimpang dari haluannya , kecuali untuk pertolongan jiwa manusia. ( ps.
370 KUHD )
14. Menjaga kepentingan pemilik muatan. ( ps. 371 KUHD )
2. WEWENANG NAHKODA
nahkoda mendapat wewenang dari undang – undang dan peraturan-peraturan untuk mendukung tugas – tugasnya , antara lain :
- memakai bahan makanan penumpang atau muatan untuk permakanan pelayar dalam keadaan darurat. ( ps. 357 KUHD )
- melakukan apa saja dengan kapal , kalau perlu menjual bagian – bagian kapal untuk melengkapinya guna meneruskan pelayaran. ( ps. 360 , 362 KUHD )
- untuk memperoleh dana guna kepentingan pelayarannya, nahkoda dapat menggadaikan kapal atau muatannya.
- BOTTOMRY yaitu penggadaian kapal , bila kapal tenggelam dalam maka hutang dianggap habis.
- REPONDENTIRE yaitu bila yang digadaikan muatannya. ( ps. 365 KUHD )
4. menjadi penggugat atau tergugat atas nama perusahaan pelayaran dalam proses pengadilan. ( ps. 361, 369 KUHD )
5. membelokkan / menyimpangkan haluannya untuk menyelamatkan jiwa. (ps. 370 KUHD)
6. mempekerjakan atau mengeluarkan penumpang gelap. ( ps. 371 KUHD )
7. untuk melaksanakan tata tertib di kapal terhadap para pelayar, dan menjatuhkan hukuman dan sanksi sesuai dengan undang-undang. ( ps. 357,386,388,390,391,394,414 KUHD )
8. mempekerjakan ABK yang belum disijilkan, asalkan disijilkan pada pelabuhan berikutnya. ( ps. 383 KUHD )
9. mewakili perusahaan pelayaran dalam membuat perjanjian dengan ABK atau buruh. ( ps. 397 KUHD )
10. mewakili perusahaan menandatangani konosemen ( B/L ). ( ps. 505 KUHD )
11. mengangkut muatan melewati pelabuhan tujuan muatan dengan alasan-alasan tertentu. ( ps. 517 i KUHD )
12. mengeluarkan karcis untuk penumpang yang telah memenuhi syarat. ( ps. 530 KUHD )
Hukuman atau sanksi
Jenis hukuman disipliner atau sanksi yang bisa dijatuhkan oleh nahkoda :
1. menahan atau mengurung paling lama 3 hari.
2. menjatuhkan denda berupa pemotongan gaji, paling banyak 10 hari gaji ( hari kerja ), tetapi tidak boleh melebihi 1/3 dai upah dalam satu pelayaran.
3. dipecat / sign off.
Prosedur pemeriksaan adalah dihadir 2 orang perwira dan saksi. ( ps. 390 KUHD )
Penjatuhan hukuman dilaksanakan paling cepat 12 jam dan paling lambat 7 hari setelah kejadian untuk menjamin obyektivitas dari hukuman. Dan dicatat dalam buku register hukuman.
Awak kapal dapat naik banding kepada pengadilan negeri yang diajukan dalam waktu 90 hari.
Denda tidak boleh untuk kepentingan kapal , nahkoda atau pemilik kapal , tetapi digunakan untuk dana-dana sosial pelaut, janda pelaut atau anak yatim pelaut , dapat juga digunakan untuk ABK secara menyeluruh.
Pelanggaran-pelanggaran yang boleh dijatuhi hukuman ( ps. 387 KUHD )
- meninggalkan kapal tanpa ijin.
- kembali ke kapal telambat.
- menolak melakukan pekerjaan.
- bekerja tidak baik.
- melakukan perbuatan tidak senonoh.
- mengganggu ketertiban.
Pengganti Nahkoda
Jika nahkoda berhalangan atau tidak mampu memimpin kapal karena sesuatu hal, maka boleh diganti oleh mualim yang berwenang berurutan menurut tingkatannya ( mualim I ), mualim berwenang artinya yaitu mualim yang berijazah. ( ps. 341 d KUHD ).
DOKUMEN KAPAL
Dokumen kapal dapat dibagi atas :
- sertifikat – sertifikat dan surat – surat kapal.
- Sertifikat – sertifikat dan surat – surat pengujian peralatan.
- Surat – surat kapal untuk awak kapal.
- Surat –surat kapal sehubungan dengan pengoperasiaan kapal.
a. Sertifikat – sertifikat dan surat – surat kapal.
1. Surat laut ( certificate of Nationality / certificate of Registry ).
Menandakan kebangsaan suatu kapal, terdiri :
- surat laut ( isi kotor 500 m³ atau lebih ).
- pas tahunan ( isi kotor 20 m³ sampai 500 m³ ) masa berlaku 1 tahun.
- pas kecil ( isi kotor kurang dari 20 m³ ) terdiri pas biru dan pas putih, masa berlaku 1 th.
2. Surat ukur ( Certificate of Tonnage and Measurement )
Merupakan sertifikat pengesahan ukuran dan tonase kapal.
Dalam surat ukur terdapat nomer register resmi kapal ( tanda selar ) yang dipasang pada
kapal.
3. Sertifikat Garis Muat ( Load Line Certificate )
Sertifikat yang memberikan pembatasan pemuatan kapal untuk tiap – tiap musim dan pada tiap – tiap jenis cairan tempat kapal berlayar. Ditandai dengan plimsol mark / merkah kambangan.
4. Sertifikat penumpang ( Passenger Ship Safety Certificate )
Sertifikat yang diberikan kepada kapal penumpang, yaitu kapal yang mengangkut penumpang lebih dari 12 orang )
5. Sertifikat keselamatan konstruksi kapal barang (Cargo Ship Safety Construction Certificate )
Sertifikat diberikan berdasarkan SOLAS 74 yang telah memenuhi persyaratan
sehubungan badan kapal, permesinan dan perlengkapannya, stabilitas , deteksi dan pemadam kebakaran .
6. Sertifikat Keselamatan Telegrap Radio Kapal Barang ( Cargo Ship Safety Radio Telegraph Certificate )
Bila dilengkapi dengan perangkat radio telegraph.
7. Sertifikat keselamatan Radio Telefoni kapal Barang (Cargo Ship Safety Radio Telephony Certificate )
Setiap kapal niaga yang ukurannya 1600 GT atau lebih dan kapal penumpang harus dilengkapi dengan dengan peangkat radio telefoni.
8. Sertifikat keselamatan Perlengkapan Kapal Barang ( Cargo Ship Safety Equipment Certificate )
Memperlihatkan berapa jumlah pelayar termasuk nahkoda yang diijinkan sehubungan dengan jumlah alat-alat keselamatan, jumlah sekoci dan kapasitasnya, jumlah sekoci bermotor, rakit penolong, baju penolong, pelampung penolong, pemadam kebakaran alat-alt navigasi, isyarat-isyarat bahaya dan lain-lain. Masa berlaku 2 tahun.
9. Sertifikat Pembebasan ( Exemption Certificate )
Pengecualian kapal - kapal dalam mendapatkan sertifikat sehubungan dengan konvensi dan pemberlakuannya.
- Existing Ship : kapal kapal yang di bangun sebelum konperensi.
- New Ship : kapal kapal yang dibangun setelah ada koperensi.
10. Surat Ukur Suez canal dan Panama Canal ( Suez Canal / Panama Canal Tonnage Certificate )
Yang dibuat oleh pejabat yang berwenang di suez dan panama canal dengan perhitungan tersendiri yang tujuannya untuk mendapatkan patokan pembayaran biaya lalu lintas dalam terusan – terusan tersebut.
11. Sertifikat Hapus Tikus ( Derating Certificate )
Dikeluarkan oleh Port Health yang masa berlakunya 6 bulan .
12. Sertifikat Keselamatan Kapal barang dan Kapal Penumpang Nuklir ( Nuclear passengers Cargo Ship Safety Certificate )
Sertifikat tambahan untuk kapal – kapal yang menggunakan bahan bakar nuklir.
13. Sertifikat Pencegahan Pencemaran Minyak ( International Oil pollution Prevention Certificate )
Sertifikat dikeluarkan setelah kapal telah memenuhi persyaratan mengenai pencegahan pencemaran sesuai dengan appendix II Annex I Marpol 73 / 78 suplement A atau B.
14. Buku Catatan Minyak ( Oil Record Book )
Catatan mengenai perjalanan / pembongkaran minyak di atas kapal.
15. Memorandum
Buku yang memuat keterangan – keterangan kapal secara lengkap dan mutakhir dari waktu ke waktu. Yang dicatat antara lain :
- docking
- Perubahan konstruksi kapal
- ijazah awak kapal
- alat-alat keselamatan , dll.
16. Buku Harian Kapal ( Log Book )
Keterangan mengenai kapal, kegiatan dan pelayarannya.
Exhibitum yaitu bukti pemeriksaan oleh Syahbandar, dilaksanakan dalam jangka waktu 48 jam setelah tiba pelabuhan . ( ps. 354 KUHD ).
Tujuan dari Buku Harian Kapal :
- Pengawasan pemerintah
- Ikhtisar tentang peristiwa-peristiwa kepada pihak – pihak yang berkepentingan.
- Sumber data hakim (setelah di Exhibitum )
b. Dokumen Peralatan
Setiap peralatan mempunyai sertifikat :
1. Sertifikat pembuatan
2. Sertifikat pengujian / kir
3. Sertifikat kalibrasi
c. Dokumen dan Surat awak kapal
1. Paspor
2. Buku Pelaut
3. Sertifikat ( certificate of competance )
4. Sertifikat Ketrampilan ( certificate of Proficency )
5. Buku kesehatan / kuning
6. Surat kesehatan
7. Perjanjian Kerja Laut
d. Dokumen dan surat sehubungan dengan pengoperasian kapal
1. Crew list
2. Passenger manifest
3. Daftar Inventaris kapal
4. Personal effect list
5. Cargo Manifest
6. Narcitic list
7. Surat perintah berlayar / sailing order
8. Konosemen
9. Buku kesehatan
10. Sijil ABK ( ship’s article )
11. Vaksinasi list
12. Pemberitahuan pemuatan barang ke bea cukai
13. Surat pemakaian pandu / tug boat
14. Port clearance
Sertifikat- Sertifikat yang lain :
1. Sertifikat kebersihan → ruang muatan
2. Sertifikat pemanas → pipa pemanas dalam tangki
3. Sertifikat muatan bahaya → amunisi , gas
4. Sertifikat kematian → untuk hewan / ternak
5. Sertifikat bebas gas → ruangan tertutup
6. Sertifikat bebas hama → untuk muatan tertentu , ex : tembakau, beras
7. Sertifikat muatan kayu log → muatan kayu gelondongan
Berita acara
Jenisnya :
1. Biasa : dibuat oleh syahbandar atas permintaan nahkoda tentang data-data
pelayaran dimana tidak terjadi hal-hal istimewa selama pelayaran.
2. Wajib ( note of protest / sea protest )
Bila terjadi kejadian-kejadian istimewa selama belayar :
- terjadi kerusakaan muatan
- kecelakaan
- memberi pertolongan kepada kapal lain
- peristiwa luar biasa / di luar dugaan
Dibuat oleh syahbandar atau konsulat dan harus dibuat dalam waktu 3 x 24 jam
terhitung mulai tiba di pelabuhan ( hari kerja ).
3. Statement of fact
Dibuat bila terjadi hal –hal istimewa di pelabuhan seperti : kawat muat putus, buruh luka, muatan rusak, ada bagian kapal yang rusak karena kecerobohan stevador dan lain-lain. Ditanda tangani oleh saksi yang bisa digunakan untuk menuntut ganti rugi.
ADMINISTRASI MUATAN
Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri menyelenggarakan pengangkutan barang melalui laut ( ps. 466 KUHD ).
Kewajiban utama pengangkut yaitu menjaga keselamatan barang / muatan dan mengganti kerugian apabila barang / muatan hilang atau rusak ( ps. 468 KUHD ).
Kewajiban pemilik muatan yaitu menyerahkan muatan sesuai perjanjian, pada saat yang tepat, ditempat yang benar dan dalam keadaan baik.
Konvensi internasional yang berlaku di negara-negara maritim adalah Hague Rules tahun 1924 yang disempurnakan pada tahun 1968 dengan Hague –Visby Rules mengenai pembakuan peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkaitan dengan konosemen / bill of Lading.
Kekebalan – kekebalan Pengangkut
Hague Rules menetapkan hak-hak dan sejumlah kekebalan bagi pengangkut yang berlaku apabila Pengangkut telah melaksanakan tindak kewajaran ( due diligence ) yaitu kapal harus dalam keadaan :
- laik laut
- diawaki, dilengkapi dan dibekali cukup
- laik muat
Kekebalan – kekebalan yang dimiliki oleh pengangkut :
a. Tindakan, kelalaian, kesalahan Nahkoda atau karyawan dalam pelayaran atau pengelolaan kapal.
b. Kebakaran
c. Bahaya, malapetaka dan kecelakaan laut.
d. Tindakan diluar kemampuan manusia ( Act of God ).
e. Tindakan perang.
f. Tindakan permusuhan umum.
g. Tindakan penguasa.
h. Pembatasan karantina
i. Kealpaan pengapal atau pemilik muatan.
j. Pemogokan.
k. Kerusuhan.
l. Penyelamatan jiwa di laut
m. Kerusakan karena sifat barang.
n. Pembungkusan yang tidak baik.
o. Merk yang tidak jelas.
p. Cacat yang tersembunyi
q. Sebab-sebab lain diluar kesalahan / pengetahuan pengangkut.
Pergerakan arus barang dan dokumen
1. Pemilik barang / pengirim menghubungi pengusaha kapal, kadang lewat perantara.
2. membuat surat perjanjian ( engagement sheet )
3. pengirim mengangkut muatan ke gudang pengangkut atau terminal , sambil :
- menyiapkan dokumen-dokemennya.
- menyerahkan data-data muatan untuk perhitungan tarif.
4. Persiapan sebelum pemuatan:
- dapat dibuatkan B/L untuk dikapalkan ( to be shipped Bill of Lading )
- membuat tentative stowage plan.
- pemeriksaan ruang muat oleh surveyor
5. Selama pemuatan dibuat:
- working sheet jam kerja buruh.
- perhitungan muatan ( tally ).
- cargo exception report yaitu apabila terjadi kerusakan pada waktu penerimaan di
atas kapal, yang nantinya dicantumkan dalam resu mualim.
6. Selesai pemuatan dibuat :
- final stowage plan
- cargo manifest
- hatch list
- perhitungan stabilitas
- bill of lading berdasarkan mate’s reciept.
- letter of indemnity ( surat jaminan ) à untuk membuat B/L bersih.
7. Selama pelayaran jika terjadi kerusakan dibuat :
- Cargo damage report.
8. Kedatangan kapal di pelabuhan
- agen mengirim Notice of arrival kepada pemilik barang ( consignee )
- pemilik barang menyelesaikan kewajibannya ( pajak, dokumen yang dibutuhkan, ).
- pemilik barang memberikan surat jaminan dalam bentuk garansi bank ( L/C ) untuk
mengambil barang dari pengangkut.
- dengan menggunakan D/O ( delivery order ) menerima muatan dari kapal.
9. Selesai pembongkaran :
- membuat laporan pembongkaran ( cargo outern report )
- pengajuan tuntutan ganti rugi dalam waktu 5 hari
Bill of lading
Konosemen ( B/ L ) adalah surat bertanggal dimana pengangkut menerangkan telah menerima barang untuk di angkut ke tempat tujuan dan diserahkan kepada pihak penerima. (ps. 506 KUHD ) Terbagi dalam :
- konosemen atas nama à bisa dialihkan ke penerima lain
- konosemen atas petunjuk à bisa diperdagangkan
- konosemen kepada pembawa
Fungsi B/ L :
a. sebagai tanda terima
b. sebagai bukti perjanjian
c. sebagai dokumen kepemilikan
d. sebagai sarana negosiasi
Jenis-jenis konosemen sebagai :
1. cara pengapalan : Shipped B/L >< Received B/L
2. pihak penerima : Straight B/L >< Order B/L
3. pelabuhan tujuan : Direct B/L >< Trough B/L
4. keutuhan barang : Clean B/L >< Foul B/L
5. kepentingan perdagangan : Negotiable B/L >< Non Negotiable B/L
Tanggung jawab pihak pengangkut
Nahkoda bertanggung jawab atas muatan selama penyeberangan sebenarnnya (actual carriage), Actual carriage adalah “ from end of tackle to end of tackle “ yang mencakup :
- melakukan pemuatan sebaik-baiknya
- mengatur pemadatan dengan sempurna
- menjaga kualitas muatan
- mengawasi muatan selama penyeberangan
- melakukan pembongkaran dengan baik
Charter
Terdiri dari :
1. Charter waktu
2. Charter perjalanan
1. Charter waktu ( time charter ) adalah suatu persetujuan dimana satu pihak ( yang mencharter ) mengikatkan diri selama waktu tertentu , pihak lain ( pengusaha kapal ) menyediakan kapal untuk keperluan pencharter dengan pembayaran nilai yang dihitung menurut lamanya waktu.
2. Charter perjalanan ( voyage charter ) adalah suatu persetujuan antara pihak pengusaha kapal dan pihak pencharter dengan pembayaran nilai pengangkutan dalam satu perjalanan atau lebih.
Time charter
Pihak kapal berkewajiban mengoperasikan kapal dengan imbalan uang sewa, sedangkan tanggung jawab pencharter membayar biaya-biaya seperti bahan bakar dan biaya pelabuhan.
Time charter khusus adalah bareboat charter, dimana pihak pencharter lebih banyak bertindak sebagai pemilik kapal.
Unsur utama dari time charter :
- keterangan tentang kapal
- keterangan tentang pelayaran
- keterangan tentang waktu
voyage Charter
Pihak kapal bertanggung jawab atas biaya-biaya running exspenses ( awak kapal, perbekalan ) dan voyage exspenses ( pelabuhan, bahan bakar ).
Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak kapal :
- kapal harus sudah tiba ( arrived ship )
- kapal siap untuk dimuati ( ready to load )
- notice of readiness
laydays adalah menerangkan jumlah hari untuk bongkar muat,
Reversible adalah jika laydays digabung untuk kegiatan bongkar maupun pemuatan.
Demurrage adalah jika waktu yang sesungguhnya ( actual time ) melebihi “time allowed”.
Despatch adalah jiks waktu yang sesungguhnya kurang dari “time allowed”.
Dead freight adalah jumlah yang dibayar oleh pencharter jika muatan kurang dari yang disepakati dalam charter party.
ORGANISASI KAPAL
MUALIM II MASINIS I CH. COOK /
MUALIM III MASINIS II PELAYAN
MUALIM IV MASINIS III LAUNDRY
CADET ELECTRICIAN
BOSUN / SERANG CADET
CARPENTER MANDOR/ FOREMAN
MISTRY FITTER
JURUMUDI / AB JURU MINYAK
KELASI WIPER
Organisasi kapal untuk tiap –tiap perusahaan kadang tidak sama.
Tetapi bagan diatas dapat dijadikan pedoman organisasi di atas kapal pada umumnya.
TUGAS DARI AWAK KAPAL
A. Bagian Deck ( Deck Departement )
Menurut ps. 341 KUHD : nahkoda memimpin kapal, kepadanya diberikan kekuasaan umum atas semua orang yang berada di kapal ( pelayar ). Pelayar harus mentaati perintah yang diberikan demi keselamatan serta tegaknya ketertiban. Sedangkan kekuasaan terhadap awak kapal lebih besar kekuasaan disipliner. Dengan kekuasaannya nahkoda dapat menjatuhkan hukuman / sanksi terhadap pelanggar.
B. Bagian mesin ( Engine Departement )
Bertanggung jawab terhadap kelancaran pengoperasian semua peralatan permesinan dan penunjangnya yang ada di kamar mesin dan juga yang ada di deck, termasuk perbaikan dan perawatannya. Sebagai atasan dari semua awak kapal bagian mesin.
2. Masinis II
Bertanggung jawab terhadap pengaturan routine kerja harian dan kebersihan di kamar mesin.
Bertugas jaga pada jam 04.00 – 08.00 / 16.00 – 20.00.
Betanggung jawab terhadap perawatan mesin induk.
Menggantikan KKM bila berhalangan.
3. Masinis III
Bertugas jaga pada jam 00.00 – 04.00 / 12.00 – 16.00.
Bertanggung jawab terhadap perawatan mesin bantu di dalam kamar mesin.
Menerima tugas kerja dari Masinis II.
4. Masinis IV
Bertugas jaga pada jam 08.00 – 12.00 / 20.00 – 24.00.
Bertanggung jawab terhadap perawatan pesawat bantu di deck, mesin sekoci, ketel uap, Oil Water Separator dan mesin kemudi
Mengawasi spare part.
Bertanggung jawab terhadap tangki bahan bakar, pemakaiannya dan bunkering.
5. Masinis V
Menerima tugas dari Masinis II, membantu Masinis III merawat pesawt bantu di dalam kamar mesin, mengawasi buku jaga kamar mesin.
6. Mandor / Foreman / No. 1 Oiler
Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian mesin yang menerima perintah dari Masinis II.
7. Juru minyak
melaksanakan tugas jaga, membantu mandor.
PERJANJIAN KERJA LAUT
Perjanjian kerja laut adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara seseorang dengan majikan dan dengan perjanjian itu seseorang tadi mengikatkan diri kepad majikan untuk bekerja menurut ketentuan yang berlaku. (ps.395 KUHD).
A. Syarat – syarat PKL :
1. Dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
2. Ditanda tangani oleh syahbandar ( pejabat pemerintah ).
3. Dibiayai oleh pemerintah.
Untuk ABK penanda tanganan dilakukan di depan syahbandar dan dibacakan tentang perjanjiannya pasal demi pasal , sedang Perwira tidak perlu dibuat didepan syahbandar karena sudah dianggap mengetahui tentang peraturan dan undang-undangnya.
B. Jenis-jenis PKL
1. berdasarkan waktu atau periode :
a. PKL Trip yaitu PKL yang berdasarkan pelayarannya dari pelabuhan stu ke pelabuhan lain, biasanya disebutkan pula ketentuan kapal dan trayeknya.
b. PKL Periode yaitu PKL menurut waktu tertentu.
c. PKL Tak tertentu yaitu PKL yang tidak ditetapkan masa berlakunya dan berakhir sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak.
2. Berdasarkan sudut perbedaan dalam Undang – Undang:
a. PKL untuk Nahkoda.
b. PKL untuk Anak Buah Kapal.
Perbedaan dalam undang – undang yaitu yang menyangkut alasan – alasan yang sah ketika terjadi Pemutusan hubungan Kerja.
3. berdasarkan pihak yang mengikatkan diri:
a. PKL Pribadi yaitu PKL antara seseorang dengan majikan
b. PKL Kolektif yaitu PKL antara gabungan pelaut ( organisasi Union ) dengan gabungan majikan / pengusaha.
C. Isi PKL
Meliputi : ( ps. 400 & 401 KUHD )
1. Nama Pelaut
2. Umur atau tanggal lahir
3. Jabatan diatas kapal
4. Tempat dan tanggal perjanjian di buat
5. Nama kapal dimana pelaut akan bekerja
6. Periode atau waktu atau trip
7. Gaji pelaut dan jaminan – jaminan lainnya
8. Pernyataan apakah pelaut juga mengikatkan diri dengan tugas lainnya selain tugas utamanya
9. Nama Syahbandar yang ikut mrnanda tangani
10. Tanggal saat perjanjian mulai berlaku
11. pernyataan mengenai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penentuan hak dan kewajiban, juga mengenai pemutusan hubungan kerja.
12. tanda tangan Pelaut, Majiakan dan Syahbandar
13. tanggal ditanda tangani dan disyahkan PKL tersebut
Apabila tidak ada keterangan tentang berlakunya maka PKL mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan.
D. Akhir PKL
PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan :
1. Alasan wajar / biasa ( ps. 1603 KUH Perdata )
a. Masa PKL telah berakhir, PKL bisa diperpanjang.
b. Pelaut meninggal dunia
c. Persetujuan kedua belah pihak
4. Perjanjian tidak sah
5. Salah satu pihak tidak setuju selama masa percobaan
6. Perusahaan di likuidasi
2. Alasan mendesak untuk majikan ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 418 KUHD )
a. ABK menganiaya Nahkoda atau pelayar lainnya
b. Pelaut terlambat datang atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nahkoda
c. Menyelundupkan barang tanpa sepengetahuan Nahkoda atau pengusaha
d. Memberikan keterangan palsu sehubungan dengan PKLnya
e. Kurang cakap
f. Suka mabuk minuman, madat, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah diperingatkan
g. Melakukan pencurian, penggelapan dan kejahatan
h. Dengan sengaja melakukan perusakan barang milik majikan
i. Berkeras menolak perintah
j. Melalaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya
Khusus terhadap Nahkoda di tambah :
a. Menganiaya, mengancam, atau membujuk pelayar untuk melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang dan susila
b. Menolak perintah majikan yang masih dalam lingkup tugasnya
c. Dicabut wewenangnya sebagai Nahkoda baik sementara atau selamanya
d. Membawa atau mengijinkan barang selundupan tanpa pengetahuan majikan
3. Alasan mendesak untuk Pelaut ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 419 KUHD )
a. Majikan menganiaya, menghina atau mengancam pelaut atau keluarganya
b. Membujuk untuk melakukan perbuatan melanggar hukum dan kesusilaan
c. Tidak membayar upah
d. Tidak memberikan pekerjaan yang cukup jika upah tergantung atas pekerjaannya itu
e. Majikan terlalu melalaikan kewajibannya seperti dalam perjanjiannya
f. Tidak memberikan makan / akomodasi sesuai dengan perjanjian
g. Memerintahkan pelaut bekerja pada perusahaan lain dan pelaut menolak dimana tidak tercantum dalam perjanjian
h. Memerintah hal – hal yang bertentangan dengan PKL atau kewajibannya yang telah ditentukan oleh undang – undang
i. Memerintah berlayar ke daerah perang , daerah musuh dan tidak tercantum dalam PKL
j. Menyuruh memakai kapalnya untuk perdagangan budak, pembajakan, pelayaran yang terlarang, dan mengangkut barang terlarang
k. Menyediakan tempat tinggal di kapal tidak memenuhi persyaratan kesehatan
l. Makanan tidak memenuhi gizi yang memadai atau tidak baik keadaannya
m. Memerintah melakukan pelayaran di luar atau lebih dari yang tercantum di perjanjian
4. Alasan Penting ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 420 KUHD )
Dengan keputusan oleh pengadilan atas pengaduan oleh salah satu pihak , di mana setelah penandatanganan PKL :
a. Ada perubahan – perubahan keadaan pribadi atau kekayaan dimana perubahan tersebut sedemikian sifatnya sehingga sudah sepantasnya bila perjanjian berakhir.
b. Meneruskan hubungan akan menimbulkan hal – hal yang membahayakan jiwa si pengadu.
c. Semua alasan alasn yang mendesak
5. Alasan lain ( ps. 1267 KUH Perdata )
a. Dengan ganti rugi atau ganti biaya plus bunga.
b. Pelaut mendapat pekerjaan lain yang lebih tinggi gaji atau jaminannya , asal pelaut dapat mencarikan penggantinya, akan tetapi PKL tersebut jangka waktunya kurang dari satu tahun.
E. Surat berhenti
Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat keterangan berhenti bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan dicantumkan keterangan mengenai :
1. Macam / jenis pekerjaan yang telah dilakukan pelaut
2. Lama bekerja
c. Bukti diri pelaut
d. konduite
e. alasan PHK
f. tanggal dan tanda tangan
AWAK KAPAL
A. Kewajiban Anak Buah Kapal
1. Mematuhi perintah Nahkoda , juga orang lain yang bertindak atas nama atau untuk Nahkoda, apabila Nahkoda memberikan perintah di luar batas kewenangannya, ABK mempunyai Hak untuk menuntut atau mengadukan ke yang berwenang.
2. Minta ijin setiap kali meninggalkan kapal
3. Minta ijin Nahkoda atau penggantinya untuk mempunyai, menyimpan atau menggunakan barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan wajar , ex : minuman keras, senjata
4. Melakukan tugas tambahan bila dianggap perlu
5. Melakukan tugas denga penuh dedikasi
6. Bersedia untuk cadangan TNI – AL atau wajib militer
7. Bertindak dan bertingkah laku sopan dan baik sesuai dengan tugas, jabatan dan ketentuan perusahaan
8. Mempelajari situasi keadaan kapal sehubungan dengan alat-alat keselamatan
B. Hak Anak Buah Kapal
Pada umumnya hak antara Nahkoda, perwira maupun bawahan adalah sama walaupun ada perbedaan yang tidak begitu berarti. Hak-hak awak kapal dapat dibagi menjadi :
1. Hak atas Upah
Upah yang menjadi haknya adalah yang sesuai dengan yang tercantum di PKL ( perjanjian kedua belah pihak ) selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Upah yang dimaksud di PKL tidak termasuk tunjangan atau lembur atau premi.
Upah dibayarkan semenjak dia mulai bekerja dan sampai berakhirnya hubungan kerja. ABK juga berhak atas upah walaupun belum bekerja bila awak kapal telah menyediakan diri untuk bekerja akan tetapi belum diperkerjakan oleh majikan.
Pemotongan Upah
Pemotongan upah yang sah menurut hukum :
a. Alasan umum
1. Ganti rugi yang harus dibayar oleh awak kapal
2. Denda yang harus dibayar kepada majikan
3. Iuran untuk dana
4. Sewa rumah / ruangan diluar kepentingan dinas
5. Harga pembelian barang-barang yang dipergunakan oleh awak kapal diluar kepentingan dinas
6. Persekot atas upah yang telah diterima
7. Kelebihan upah yang lalu
8. Biaya pengobatan yang harus dibayar oleh awak kapal
9. Upah yang dikirim ke istri atau keluarga maksimum 2/3 dari upah
b. Alasan lain
a. Denda oleh Nahkoda sesuai dengan undang-undang dan peraturan
b. Pengurangan upah karena sakit yang membuat awak kapal tidak dapat bekerja
c. Ikatan kerja terputus karena alasan-alasan yang sah
Penambahan Upah
Upah dapat bertambah bila :
1. bekerja pada hari libur
2. Pembayaran kerja lembur
3. Pembayaran untuk waktu tambahan pelayaran
4. Pembayaran kerja khusus / istimewa, ex : muat muatan berbahaya, menunda, berlayar ke daerah perang / musuh
5. mengemban tugas yang lebih tinggi yang bersifat Insidental
6. kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah
7. Kelambatan pembayaran upah dari waktu yang ditentukan jika akibat dari kelalaian perusahaan
8. Tidak diberikan makan atau makanan yang diberikan berkurang dari Hak awak kapal
2. Hak atas tempat tinggal dan makan
Awak kapal berhak atas tempat tinggal yang baik dan layak sesuai peraturan, dan awak kapal juga berhak atas makanan yang pantas.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan pelanggaran hukum dan juga dapat memaksa pengusaha membayar ganti rugi kepada awak kapal.
3. Hak atas cuti
Yang dimaksud cuti adalah cuti dengan upah penuh.
a. Untuk Nahkoda mempunyai hak cuti selama 14 hari atau 2 x 6 hari kerja bila telah bekerja selama satu tahun terus menerus. Hak cuti gugur bila diajukan sebelum satu tahun bekerjanya berakhir. Tidak berlaku bagi PKL yang menurut Pelayaran.
b. Untuk ABK mempunyai hak cuti 7 hari kerja atau 2 x 5 hari tergantung dari perusahaan, bila telah bekerja satu tahun terus menerus.
4. Hak awak kapal waktu sakit atau kecelakaan
Hak ini juga berlaku buat Nahkoda.
Dibedakan ke dalam berbagai jenis :
a. Sakit biasa ( ps. 416 KUHD )
Awak kapal yang telah bekerja pada perusahaan selama 1 ½ tahun dan menderita sakit sewaktu bertugas di kapal berhak :
1. Pengobatan sampai sembuh
Pengobatan bila diturunkan dari kapal paling lama 52 minggu, dan bila berada di kapal hak pengobatan sampai sembuh.
2. Upah penuh selama berada diatas kapal atau selama PKL belum berakhir, jika diturunkan dari kapal untuk pengobatan berhak atas upah sebanyak 80% dari upah penuhnya sampai sembuh tetapi tidak lebih dari 26 minggu.
3. Pengangkutan Cuma-Cuma ke Rumah Sakit atau ke tempat dimana dirawat atau ke tempat penandatangana PKL beserta penginapan dan makannya.
Jika pelaut sakit atau kecelakaan bukan sedang tugas di kapal, dia hanya berhak atas 80% dari upah selama sakit akan tetapi tidak boleh lebih dari 26 minggu. Ketentuan tersebut sudah tercakup dalam jaminan asuransi Anak Buah Kapal, jadi tidak boleh ada tuntutan ganda baik dalam perawatan atau upah selama sakit.
Hak jaminan diatas bisa ditolak bila :
a. Anak buah kapal menghindari pengobatan dokter.
b. Anak buah kapal tidak mempergunakan kesempatan berobat atau perawatan yang telah berjalan dan tidak segera mencari dokter pengganti di tempat ia berada.
c. Tunjangan upah dapat tidak dibayar bila sakit atau kecelakaan tersebut karena kesengajaan atau tidak hati-hati dari Anak buah kapal.
b. Sakit karena kecelakaan
Sakit karena kecelakaan Anak buah kapal berhak atas tuntutan ganti rugi bila disebabkan atas kelalaian pihak pengusaha dalam pengelolaan pekerjaan atau penyediaan sarana prasarana.
Bila meninggal dunia , ganti rugi diberikan kepada ahli warisnya.
c. Kapal tenggelam
Kapal dan awak kapal biasanya diasuransikan ke P&I club yaitu suatu organisasi yang hakekatnya adalah perusahaan asuransi.
Menurut KUHD ps. 432.a pengusaha kapal wajib memberi ganti rugi kepada awak kapal berupa :
1. Jumlah upah paling lama 2 bulan
2. Jumlah upah sampai tiba kembali di tempat penanda tanganan PKL dalam ketentuan di atas tidak berlaku.
3. Ganti rugi berupa barang milik awak kapal dan kerugian lainnya.
4. Biaya penguburan dan pengiriman jenazah sampai ke ahli warisnya bila meninggal dunia.
5. Hak Pengangkutan
a. Semua awak kapal setelah berakhir PKL berhak atas angkutan Cuma-Cuma ke tempat dimana PKL ditanda tangani atau ke tempat tinggal ABK atau ke tempat lain sesuai dengan perjanjian.
b. Pelaut Indonesia yang terlantar berhak mendapat pengangkutan pulang ke Indonesia .
Nahkoda kapal Indonesia wajib berusaha mengangkut pelaut Indonesia yang terlantar ke Indonesia atas perintah Konsul atau pejabat setempat. ( ps. 358 KUHD ).
6. Hak menggugat atau menuntut
Anak buah kapal mempunyai hak-hak yang bersifat asasi dan kebebasan serta hak-hak untuk menuntut jika diperlakukan tidak adil.
Diantara hak-hak Anak buah kapal tersebut :
a. Menuntut ganti rugi atas penghinaan atau merusak nama baik.
b. Menuntut ijin mempelajari PKL dan sijil kapal.
c. Mengadukan Nahkoda bila perintahnya bertentangan dengan hukum.
d. Menuntut penjelasan bila tidak diijinkan turun di pelabuhan.
e. Naik banding ke pengadilan negeri atas hukuman yang dijatuhkan.
f. Mengetahui tujuan kapal.
g. Menuntut penyelidikan atas makanan apakah pantas atau memenuhi syarat gizi atau sesuai perjanjian bila dikehendaki oleh min 1/3 dari Anak buah kapal.
h. Minta ganti rugi bila makan tidak diberikan.
KEPELABUHAN
Pelabuhan yaitu suatu tempat dimana kapal biasanya berlabuh atau ditambatkan untuk keperluan bongkar muat, perbekalan, perlengkapan atau penyimpanan / penambatan.
Jenis – jenis pelabuhan ( ps. 22 UU no. 21 th 1992 )
1. Pelabuhan umum yaitu pelabuhan yang diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum.
2. Pelabuhan khusus yaitu pelabuhan yang diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
Pelabuhan umum diselenggarakan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara.
Organisasi di lingkungan pelabuhan
Pelabuhan dikepalai oleh seorang Administrator Pelabuhan atau kepala pelabuhan sebagai pimpinan umum di pelabuhan.
Semua instansi pemerintah yang berada di pelabuhan bekerja dengan koordinasi dari Administrator Pelabuhan, namun secara hirarki fungsional tetap berada di bawah pimpinan masing-masing.
1. Kesyahbandaran
Dipimpin oleh Syahbandar yang ditunjuk oleh pemrintah sebagai pejabat pengawasan pelayaran juga yang mengeluarkan surat ijin belayar.
2. Karantina Pelabuhan / Kesehatan Pelabuhan
Yang bertugas memeriksa kesehatan yang menyangkut penyakit –penyakit karantina , berhak memeriksa kesehatan di atas kapal yamg menyamgkut ada tidaknya hewan tikus atau serangga lainnya di atas kapal.
Juga dapat mengeluarkan deratting certificate / sertifikat hapus tikus.
3. Imigrasi
Memeriksa orang – orang di atas kapal yang menyangkut kewarga negaraan dan memberikan ijin turun ke darat bagi pelaut-pelaut asing.
4. Bea Cukai
Yang bertugas memeriksa dokumen-dokumen muatan dan barang –barang yang menyangkut bea kepabean.
5. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai / KPLP
yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan pantai laut dan pelabuhan.
6. Distrik Navigasi
Yang bertugas dalam pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan rambu –rambu , bouy dan peralatan bantu navigasi yang menjadi wilayah tugasnya.
7. S A R
Bertugas memberikan pertolongan kepada kapal-kapal yang dalam keadaan bahaya.
KEAMANAN DAN KESELAMATAN
Dalam hal ini mencakup keamanan dan keselamatan jiwa, kapal, harta benda dan lingkungan baik di pelabuhan , laut atau selama kegiatan bongkar muat.
Untuk menjamin terlaksananya keamanan dan keselamatan maka pemerintah membuat ketentuan-ketentuan minimal yang harus dipenuhi oleh kapal dan undang-undangnya.
Keamanan dan keselamatan terdiri dari :
1. Keselamatan Kapal
untuk memastikan pelaksanaanya maka diberikan sertifikat-sertifikat yang menyangkut konstruksi dan keselamatan sebagai bukti telah memenuhi persyaratan –persyaratan baik nasional maupun Internasional ( SOLAS dan OK ’35 ).
Dalam rangka pengawasan kapal secara teliti maka kapal wajib didaftarkan dan ditujuk suatu Biro Klasifikasi untuk mempertahankan kapal dalam kelasnya dan kapal tidak boleh kurang dari kondisinya dari syarat minimum Biro klasifikasi.
Setiap kapal harus menjalankan percobaan stabilitas.
2. Keselamatan Kerja
Pada umumnya diatur oleh Departemen Tenaga Kerja dengan undang-undang perburuhan dan peraturan keselamatan kerja yang sumber internasionalnya berasal dari ILO.
Selain itu dibuat pula mengenai peraturan tentang persyaratan alat-alat kerja, tempat kerja , jam kerja, tempat kerja dan lain-lain.
3. Keselamatan Pelayaran
Untuk keselamatan pelayaran pemerintah :
a. Memasang rambu-rambu, suar dan tanda-tanda navigasi lainnya.
b. Mendirikan dan mengoperasikan stasiun-stasiun Radio .
c. Membentuk jawatan Hidrografi AL yang menangani perpetaan, BPI, buku Kepanduan Bahari dan pasang surut.
d. Mengeluarkan peraturan mengenai persyaratan pengawakan dan menavigasikan kapal.
e. Mengangkat pejabat – pejabat / syahbandar untuk mengontrol kapal-kapal apakah telah memenuhi ketentuan-ketentuan tentang keselamatannya.
4. Keselamatan muatan dan penumpang
Pemerintah mengatur mengenai keselamatan muatan dan penumpang dalam KUHD sehubungan dengan tanmggung jawab pengangkut / Nahkoda, selain itu juga diberlakukan perjanjian-perjanjian pengangkutan baik nasional maupun Internasional selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
Ex: Charter party, Hague rules, dan lain-lain.
PERADILAN DAN MAHKAMAH PELAYARAN
1. Peradilan
Jenis – jenis Pelanggaran :
a. Pelanggaran yang bersifat kejahatan dan kriminal.
Ex: penganiayaan, pencurian, pembunuhan dan lain-lain.
b. Pelanggaran kasus-kasus perdata
ex : penyimpangan mengenai ganti rugi, asuransi dan lain-lain.
c. Pelanggaran yang bukan kejahatan.
Ex: Kelalaian pembuatan Buku Harian Kapal, berlayar tanpa surat-surat lengkap, mengurangi hak-hak awak kapal.
d. Pelanggaran terhadap keselamatan pelayaran.
Ex : Tidak bernavigasi sebagaimana mestinya, kelalaian mempergunakan sarana navigasi, bernavigasi membahaykan keselamatan , kecelakaan kapal dan lain-lain.
Untuk pelanggaran pelanggaran pada point 1 dan 2 dilakukan peradilan di Pengadilan Negeri, dan dapat pula dijatuhi sangsi berupa sangsi adminstrasi yang dilakukan oleh Dirjend Perla, dalam hal ini yang berhak memberikan sangsi adalah Ditkapel ( syahbandar ).
Untuk pelanggaran-pelanggaran pada point 3 dan 4 , yang menyangkut kasus – kasus yang besar dapat diajukan ke Mahkamah Pelayaran oleh Dirjend Perla.
2. Mahkamah Pelayaran
Tugasnya yaitu mengadakan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan Nahkoda atau perwira kapal lainnya.
Berdasarkan Kepmenhub no. 3/u.phb/74 tanggal 6-8-1974 Mahkamah Pelayaran adalah badan yang berdiri sendiri dibawah Departemen Perhubungan.
Mahkamah Pelayaran adalah bukan lembaga peradilan tetapi merupakan suatu lembaga kode etik profesi.
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Mahkamah Pelayaran yang sekarang berlaku adalah sesuai dengan PP no. 1 / 98.
Syarat ketua dan anggota bisa seorang ANT I, ATT I, Sarjana Hukum atau Sarjana Teknik Perkapalan. Dan untuk sekertaris harus dipimpin oleh seorang Sarjana Hukum.
Dalam persidangan susunan keanggotaan adalah menjadi KETUA MAJELIS, ANGGOTA MAJELIS dan SEKERTARIS.
b. Wewenang Mahkamah Pelayaran
1. Melakukan pemeriksaan lanjutan yaitu meneliti dan menyelidiki :
a. Sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal
c. Kesalahan yang terjadi dari mereka yang bersangkutan dengan musibah kapal.
c. Perwira-perwira yang tidak layak.
2. menjatuhkan sanksi administrasi terhadap Nahkoda dan Perwira kapal yang memiliki sertifikat keahlian pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah R I yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standart profesi, berupa:
a. Peringatan.
b. Pencabutan sementara sertifikat keahlian pelaut untuk bertugas dalam jabatan tertentu untuk paling lama dua tahun.
Keputusan Mahkamah Pelayaran merupakan keputusan akhir sesuai denga pasal 46 PP no. 1 tahun 1998. Putusan Mahkamah Pelayaran ditujukan ke Dirjen Hubla dan Sekjen Dephub, dengan tembusan ke Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri setempat, Syahbandar dan Pemilik Kapal.
c. Hak Tersangkut
Tersangkut ( tidak dipakai istilah tersangka atau terdakwa ) mempunyai hak :
1. Mengambil seorang penasehat ahli ( bukan penasehat hukum atau pembela )
2. Tidak disumpah.
3. Minta penundaan sidang.
4. Melihat naskah-naskah asli.
6. Menunjuk saksi-saksi.
SAFETY OF LIVE AT SEA
(S O L A S)
A. SEJARAH KONVENSI SOLAS
H Pemikiran untuk meningkatkan jaminan keselamatan hidup di laut dimulai sejak kapal penumpang TITANIC tenggelam tahun 1912 dan menyebabkan banyaknya korban jiwa yang melahirkan konvensi pertama keselamatan pelayaran SOLAS 1914 yang memfokuskan pada peraturan tentang kelengkapan navigasi, kekedapan dinding penyekat kapal serta perlengkapan komunikasi, North Atlantic Ice Patrol yang kemudian berkembang ke kontruksi dan peralatan lainnya.
H SOLAS versi yang kedua tahun 1929 diberlakukan tahun 1933.
Salah satu dari dua Annex Konveksi merevisi COLREGs
H SOLAS Versi ketiga tahun 1948 diberlakukan tahun 1952
Ø Perbaikan-perbaikan penting :
¨ Sub devisi kedap air pada kapal-kapal penumpang.
¨ Standar-standar stabilitas;
¨ Pelayanan dalam keadaan darurat;
¨ Perlindungan bahaya kebakaran secara struktural;
¨ Pengenalan tiga metode alternatif subdivisi dengan sekat-sekat tahan api; dan
¨ Penutupan tangga-tangga naik utama
Ø Pada versi ini diperkenalkan : Sertifikat keselamatan perlengkapan kapal barang, ukuran 500 GT keatas
Ø Revisi COLREGs dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan keselamatan navigasi, meteorologi dan patroli es diperbaharui.
Tahun 1948 adalah tahun kebesaran khusus karena satu konperensi telah diselenggarakan di Geneva yang diprakarsai oleh PBB dan diadopsi satu Konvensi tentang pendirian IMCO, yang kemudian berubah nama menjadi IMO (11 Mei 1982)
H SOLAS Versi keempat tahun 1960 diberlakukan tahun 1965
Konperensi SOLAS 1960 adalah konperensi yang pertama kali diselenggarakan sendiri sejak berdirinya IMO
Perkembangannya :
Ø Ketentuan-ketentuan pengawasan;
Ø Persyaratan-persyaratan berbagai survei dan sertifikat-sertifikat untuk kapal kapal barang dan ukuran 500 GT keatas yang melayani samudera; dan
Ø Untuk suatu negara melakukan penyelidikan akan kecelakaan-kecelakaan.
Banyak lagi ketentuan-ketentuan tentang keselamatan yang diaplikasikan pada kapal-kapa penumpang telah meluas ke kapal-kapal barang.
Ø Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga; penerangan darurat dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran;
Ø Revisi persyaratan-persyaratan radio;
Ø Substansi untuk sekoci penolong (life-boats) dengan rakit penolong (liferafts) dalam beberapa kasus;
Ø Revisi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konstruksi dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran ; demikian juga
Ø Peraturan-peraturan yang berhubungan dengan angkutan muatan curah dan barang-barang berbahaya ; dan
Ø Bab terakhir berisi garis besar persyaratan-persyaratan untuk kapal-kapal bertenaga nuklir.
Amandemen-amandemen :
H Amandemen 1968
Terhadap bab II – langkah tindakan tertentu akan keselamatan terhadap bahaya kebakaran untuk kapal-kapal penumpang.
H Amandemen 1967, enam amandemen disahkan, yang berhubungan dengan :
Ø langkah tindakan keselamatan bahaya kebakaran, dan
Ø penataan-penataan untuk alat-alat penolong pada tankers dan kapal-kapal barang;
Ø VHF telephony dalam daerah-daerah lalu lintas padat ;
Ø Jenis-jenis pesawat baru; dan perbaikan modifikasi dan
Ø Perlengkapan kapal-kapal
H Amandemen 1968
Terhadap bab V – diperkenankannya
Ø Perlengkapan navigasi kapal
Ø Pemakaian “automatic pilot”
Ø Kapal wajib membawa publikasi-publikasi nautis
H Amandemen 1969
Berbagai amandemen disahkan, yang berhubungan dengan
Ø Perlengkapan personi, seperti : “firemen’s outfit” pada kapal barang
Ø Spesifikasi sekoci penolong dan baju penolong,
Ø Instalasi-instalasi radio dan perlengkapan navigasi kapal.
H Amandemen 1971
Amandemen peraturan-peraturan yang berhubungan dengan :
Ø Radio telegraphy dan radio telephony dan
Ø Pengaturan rute kapal-kapal ( ship’s routeing )
H Amandemen 1973
Peraturan-peraturan yang berhubungan dengan :
Ø Alat-alat penolong;
Ø Tugas jaga radio telegraphy;
Ø Persyaratan tangga pandu dan alat angkat
Amandemen utama adalah revisi menyeluruh dan bab VI ( carriage of grain )
B. KONVENSI SOLAS 1974
Kompensi SOLAS 1974 diselenggarakan di London dari tanggal 21 Oktober sampai dengan 1 Nopember 1974 yang dihadiri oleh 71 Negara Anggota Konvensi SOLAS 1974 mengaplikasikan : “Tacit acceptance procedure” yaitu mengatur akan suatu amandemen diterima oleh dua pertiga dari jumlah Negara anggota. Pemberlakuan dari amandemen-amandemen terhadap Annex yang bersifat teknis menjadi “tacit acceptance prosedure” (selain dari Bab I). Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 25 Mei 1980.
Pemerintah Indonesia merafikasi Konvensi tersebut dengan Keppres No. 65 Tahun 1980.
Konvensi SOLAS diperbaiki dan dilengkapi oleh IMO sebanyak 2 kali dengan Protocols :
1. Protocol yang disetujui tanggal 17 Pebruari 1978 dalam Konferensi Internasional mengenai “Tanker Safety and Pollution Prevention (1978 SOLAS Protocol)
2. Protocol yang disetujui dalam Konferensi Internasional mengenai “The Harmonized System of Survey and Certification (1988 SOLAS Protocal)
Struktur SOLAS 74/78 memuat persyaratan-persyaratan konstruksi keselamatan kapal, keselamatan manusia dan barang-barang yang diangkut. Kapal harus dibangun dan dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Stabilitas kapal mengenai pembagian ruangan, lambung timbul, penempatan instalasi mesin dan listrik.
2. Pencegahan kebakaran, alat untuk kesehatan, alat komunikasi, alat navigasi dan sertifikat yang diharuskan.
3. Peraturan khusus untuk kapal-kapal khusus seperti kapal pengangkut gandum, pengangkut barang beracun dan berbahaya, kapal bertenaga nuklir dan sebagainya.
Aplikasi peraturan SOLAS berlaku pada semua kapal yang pertama adalah “SOLAS Convention Consolidated Edition” tahun 1992 yang mulai berlaku 1 Pebruari 1992 dan terdiri dari :
SOLAS 1974, SOLAS Protocol 1978 dan semua tambahan peraturan yang sudah disetujui sampai dengan tahun 1990”.
Selanjutnya Konvensi SOLAS terus mengalami perubahan dan modifikasi yang digunakan sekarang adalah “SOLAS Consolidated Edition 1997”.
SOLAS Consolidated Edition memuat teks SOLAS Convention SOLAS Protocol 1978, dan semua tambahan-tambahan termasuk amandemen tahun 1995.
Publikasi baru dari SOLAS Convention ini diatur sebagai berikut :
a. Part 1, yang memuat Artikel-artikel dari 1974 SOLAS Convention dan 1978, SOLAS Protocol mengenai peraturan dan sertifikasi ; dan
b. Part 2, yang memuat teks baru SOLAS Chapter IX,” Management for the Safe Operation of Ships, resolution A.718 (17) as modified by resulotion A 745 (18), pelaksanaan awal dari peraturan “Harmonized System of Survey and Certification”, daftar sertifikat dan dokumen yang harus di bawa di kapal.
Selanjutnya 5 tahun kemudian diterbitkan “Consolidated SOLAS 74/7, tahun 1997” yang merupakan kumpulan hasil perbaikan dan penambahan yang dilakukan oleh IMO lima tahun terakhir yang terdiri dari :
Part 1
Chapter I - General Provisions
Chapter II – 1 - Construction – Subdivision, and Stability, Machinery and Electrical Installation
II – 2 - Construction – Fire Protection, Fire Detection and Fire Extinction
Chapter III - Life Saving Appliances and Arrangements
Chapter IV - Radio Communications
Chapter V - Safety Navigation
Chapter VI - Carriage of Cargoes
Chapter VIII - Nuclear Ship
Chapter IX - Management for the Safe Operation of Ship
Chapter X - Safety Measures for Heigh Speed Craft
Chapter XI - Special Measures to Enhanced Maritime Safety
Appendix Certificates
Annex I : Records of Equipment
Annex II : Forms of Attachements
Part 2
Annex 1 New Chapter IX of the annex to The international Convention for the Safety of Life at Sea, 1974
Annex 2 Resolution A (718 (17)), as modified by resolution A. 745 (18) Early Implementation of the Harmonized System of Survey and Certification
Annex 3 Certificates and documents required to be carried on board ships
Annex 4 Resolution of the Confrence of Contracting Parties to the International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974, adopted on 24 May 1994.
Annex 5 Resolution of the Confrence of Contracting Patries to the International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974, adopted on 29 November 1994.
Berikut ini adalah gambaran umum Struktur SOLAS untuk setiap Bab.
H Chapter I : General Provisions
Bab ini memuat definisi, regulasi dan format sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan untuk menunjukkan telah memenuhi peraturan SOLAS termasuk jangka waktu minimum dilakukan pemeriksaan.
Juga dimuat peraturan yang memberi wewenang Negara Pelabuhan melaksanakan pemeriksaan atau kontrol di Pelabuhan (Port State Control) untuk menjamin bahwa kapal yang berkunjung memiliki sertifikt sesuai SOLAS dan masih berlaku. Jika tidak maka Negara Pelabuhan berhak mengambil tindakan (menahan) dan memberitahukannya ke IMO.
H Chapter II – 1 : Construction, Subdivision, Stability, Machinery and Electrical Installation.
a. Pembagian Ruangan dan Stabilitas
Dalam bab ini dijelaskan tentang pembagian ruangan yang berdasarkan kekuatan kapal, kekuatan dan kekedepanan sekat-sekat ruang muat dan kamar mesin kapal dan kekedapan kapal (bukan sekap kedap minyak/air penutupnya, tanki).
Juga dibahas perlunya Stabilitas Information Book yang berisi :
Ø Kurva yang menunjukkan tinggi minimum operasional “matacentric” (GM) terhadap draft kapal untuk memenuhi persyaratan SOLAS Convention.
Ø Instruksi tentang operasi dari “Cross flooding arrangements”, dan
Ø Semua data bantuan yang dapat digunakan untuk mempertahankan stabilitas kapal yang tergenang air karena kecelakaan atau bocor.
b. Instalasi Mesin Kapal
Dalam bab ini dijelaskan bahwa Instalas mesin terdiri dari mesin penggerak utama, mesin pembangkit tenaga listrik, dan mesin-mesin lainnya, ketel uap, tabung bertekanan tinggi, pipa-pipa dan kelengkapannya. Keseluruhan perlengkapan tersebut harus memiliki konstruksi yang memenuhi peraturan yang ada dan terpasang dengan baik serta dapat bekerja dengan aman.
Peraturan SOLAS juga memuat daftar peralatan instalasi yang penting dan perlu ada cadangan yaitu untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kerusakan yaitu :
Ø Pembangkit Tenaga Listrik atau generator sets
Ø Pembangkit tenaga uap (boiler)
Ø Pompa dan sistem pengisi air untuk boiler
Ø Sistem supial bahan bakar untuk mesin dan boiler
Ø Pompa tekan minyak pelumnas dan pompa air tawar pendingin mesin dan pompa kondensat.
Ø Sistem mekanik supial udara segar ke dalam boiler.
Ø Kompresor dan tabung udara, sistem hidrolik, pneumatik dan elekrtik untuk pengontrol mesin penggerak utama dan pengontrol CPP.
Juga dibahas tentang sistem kemudi untuk berbagai jenis kapal khususnya tanker.
c. Instalasi Listrik
Di dalam SOLAS ditetapkan bahwa instalasi listrik untuk kapal-kapal barang termasuk tanker harus memenuhi persyaratan berikut :
Ø Semua instalasi listrik yang menunjang operasi kapal sesuai yang direncanakan dan tidak memerlukan sumber tenaga tambahan.
Ø Sumber tenaga listrik untuk menjamin keselamatan kapal dalam kondisi darurat.
Ø Penumpang dan awak terlidung dari bahaya listrik di kapal.
Dalam bab ini dijelaskan sumber tenaga listrik di kapal terdiri dari :
Ø Main Generator
Ø Emergency Generator
H Chapter II – 2 : Construction, Fire Protection, Fire Detection and Fire
Bab ini membahas tentang konstruksi pencegah kebakaran, alat deteksi kebakaran dan pemadam kebakaran kapal.
Peraturan untuk melindungi bahaya kebakaran di atas kapal dimulai dari jenis materi yang digunakan, konstruksinya sampai pada cara mendeteksi terjadinya kebakaran dan sarana untuk memadamkannya.
a. Prinsip DasarKonstruksi
Dikenal tiga jenis kapal :
Ø Fire Safety Measures for Passenger Ships
Ø Fire Safety Measures for Cargo Ships
Ø Fire Safety Measures for Tankers
b. Pembagian Ruangan
Dikenal tiga jenis (kelas) sekat berdasarkan SOLAS Convention yaitu :
Ø Kelas A adalah ruangan yang dibatasi oleh sekat vertikal dan plat dek yang memenuhi persyaratan.
Ø Kelas B adalah untuk ruangan yang dibatasi oleh sekat, plat, dek, langit-langit yang memenuhi persyaratan.
Ø Kelas C adalah digunakan untuk konstruksi sekat yang tahan api.
c. Sarana Pencegah dan Pemadam Kebakaran
Dalam bagian ini dijelaskan tentang jenis pencegah pemadam kebakaran yang digunakan di atas kapal yaitu :
Ø Pompa pemadam kebakaran termasuk perlengkapannya (Regulation 4)
Ø Pemadam kebakaran dengan gas (Regulation 5)
Ø Penyediaan Alat pemadam Kebakaran Portable (Regulation 6)
Ø Peraturan Pemadaman Kebakaran di Kamar Mesin (Regulation 7)
Juga dibahas tentang sistem kemudi untuk berbagai jenis kapal khususnya tanker.
d. Penggunaan International Shore Connection (Regulation 19)
e. Pengadaan Gambar Rencana Umum Fire Control Plans and Fire drills (Regulation 20)
H Chapter III : Life Saving Appliances and Arrangements
Isi peraturan dalam bab tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mengatur Pengadaan dan Persetujuan yang diperlukan oleh Pemerintah (Regolution 4)
b. Alat Keselamatan untuk Kapal Barang dan Penumpang berupa
Ø Alat Komunikasi
Ø Alat keselamatan untuk setiap orang (Lifebuoys, Life Jackets, Immersion Suits)
Ø Visual Signal (Rocket Parachute, Hands Flares, Buoyant)
Ø Alat Apung penolong (Liferaft, Inflatable raft, Lifeboats and Rescue Boats)
Ø Daftar Petugas dan Instruksi dalam Keadaan Darurat
Ø Petunjuk operasi yang berlaku untuk semua jenis kapal
Ø Alat pelempar
Ø Supervisi dan pengawakan sekoci penolong untuk semua jenis kapal
c. Buku Training Manuals
d. Latihan di atas kapal oleh Pelaksana
e. Kesiapan alat, Pemeliharaan dan Inspeksi
f. Pemeriksaan periodik Mingguan dan Bulanan
H Chapter IV : Radiocommunications
Dalam bab ini diatur tentang penggunaan alat komunikasi yang mencakup :
a. Komunikasi Radio Kapal
b. Peralatan Radio yang digunakan
c. Standar Kehandalan Komunikasi
d. Alat komunikasi GMDSS
H Chapter V : Safety of Navigation
Chapter V SOLAS 74/78 membahas mengenai peraturan kelengkapan navigasi untuk semua kapal dan mengatur penyampaian berita dan informasi yang dibutuhkan mengenai berita yang membahayakan kapal. Hal-hal yang diatur adalah :
a. Berita yang diperlukan
b. Rute dan Kelengkapan Navigasi
c. Tugas dan Kewajiban Pemerintah
d. Kewajiban Nakhoda Kapal
e. Kelengkapan Alat Bantu Navigasi
f. Tingkat Kebisingan
H Chapter VI : Carriage of Cargoes
Bab ini terbagi dalam 3 bagian ( A, B & C)
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah muatan dapat berpindah tempat atau “Shiffing” yang dapat mendatangkan malapetaka.
Ketentuan-ketentuan untuk keselamatan kapal yaitu bagaimana mengenai pemadatan muatan “trimming” dan menyelamatkan muatan. Akibat dari perpindahan/pergeseran muatan maka ditetapkan suatu metode untuk menghitung perpindahan/pergeseran muatan maka ditetapkan suatu metode untuk menghitung moment penegak atau “adverse heeling moment”, dan
Setiap kapal yang mengangkut muatan curah harus membawa dokumen angkutan antara lain :
Ø Data stabilitas pemuatan muatan curah;
Ø Izin mengangkut muatan yang berkaitan dengan muatan.
H Chapter VII : Pengangkutan muatan berbahaya (Carriage of dangerous goods ) Bab ini juga terbagi dalam tiga bagian (A, B & C) dalam menetapkan :
Ø Klasifikasi (classification);
Ø Pengepakan (packaging);
Ø Pemberian tanda label dan plakat (marking, labelling and placarding).
Ø Persyaratan-persyaratan tentang penyusunan muatan (stowage requirements);
Ø Konstruksi dan perlengkapan untuk angkutan bahan cair kimia yang dicairkan dalam jumlah besar;
Ø Konstruksi dan perlengkapan untuk angkutan gas yang dicairkan dalam jumlah besar.
Pengaturan muatan berbahaya secara rinci dan teknis mengacu pada IMGD Code yang telah dikeluarkan oleh IMO sejak tahun 1965 dan hingga kini telah banyak mengalami amandemen-amandemen yang mengikuti penemuan baru muatan berbahaya selain revisi ketentuan-ketentuan yang ada.
H Chapter VIII : Kapal-kapal Nuklir
Bab ini hanya memberikan persyaratan-persyaratan dasar untuk kapal nuklir
H Chapter IX : Management for the Safe Operatyion of Ship
Bab ini berhubungan erat dengan implementasi ISM Code.
H Chapter X : Safety Measure for High Speed Craft
Bab ini mengatur tentang kapal yang dibangun pada /sesudah tanggal 1 Januari 1996, yakni :
Ø Kapal penumpang yang berlayar tidak lebih dari 4 jam dari pelabuhan pemberangkatannya, penuh muatan dengan kecepatan operasionalnya.
Ø Kapal barang ukuran 500 grt atau lebih yang berlayar tidak lebih dari 8 jam dari pelabuhan pemberangkatannya, penuh muatan dengan kecepatan operasionalnya.
Peraturan ini berlaku juga untuk kapal yang diperbaiki, dimodifikasi atau dilengkapi menjadi kapal berkecepatan tinggi dengan tidak melihat tahun pembuatannya.
Kapal yang masuk dalam kategori adalah kapal yang dengan kecepatan maksimum (m/detik) sama dengan atau lebih besar dari hasil kalkulasi.
3,7 Ñ 0,167
Ñ = Displacement kapal pada batas garis muat konstruksi (m/kubik)
H Chapter XI : Specials Measures to Enhance Maritime Safety
Peraturan yang memuat langkah-langkah khusus untuk meningkatkan keselamatan yang membutuhkan pemerikasaan lebih intensif, kapal-kapal Bulk Carrier dan Tankers, termasuk kewajiban bagi Perusahaan dan kapal penyimpan hasil pemerikasan perbaikan, laporan-laporan dan data-data penunjang lainnya untuk divesivikasi oleh Pemerintah.
H Annex 1 : Sertifikat Keselamatan Kapal
Mengatur tentang Sertifikat-sertifikat yang harus dibawa serta oleh kapal (yang asli) yaitu :
Ø Sertifikat Keselamatan Kapal
Ø Tambahan Sertifikat Untuk Kapal Penumpang
Ø Tambahan Sertifikat Untuk Kapal Barang
Ø Sertifikat Kapal Khusus dan Alat Apung
Ø Sistem Pemeriksaan
Ø Masa Berlaku Sertifikat Keselamatan Kapal
CONVENTION MARINE POLLUTION
( M A R P O L )
A. SEJARAH KONVENSI MARPOL
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
Difinisi mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut:
“Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or floating platform”.
Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap di dasar laut.
B. ISI PERATURAN MARPOL
Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
1. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973.
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
2. Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :
- Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :
Ø Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.
Ø Waktu, tempat dan jenis kejadian
Ø Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
Ø Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.
- Protocol II mengenai Arbitrasi
Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :
Annex I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983
Annex II pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 2 Oktober 1983
Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1992
Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage) Mulai berlaku
27 September 2003
Annex V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988
Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.
C. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78
1. Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah suatu negara
2. Memberlakukan Annexexes I dan II – Administrasi hukum / maritim
3. Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan – Administrasi hukum / maritim.
4. Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim
5. Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim
6. Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim
7. Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim.
8. Memberitahu IMO – Administration maritim
9. Memeriksa kapal – Administrasi maritim
10. Memonitor pelaksanaan – Administrasi maritim
11. Menghindari penahanan kapal – Administrasi kapal
12. Laporan kecelakaan – Administrasi maritim / hukum
13. Menyediakan laporan dokumen ke IMO (Article 11) – Administrasi maritim
14. Memeriksa kerusakan kapal yang menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi maritim.
15. Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.
D. YURISDIKSI PEMBERLAKUAN MARPOL 73/78
MARPOL 73/78 memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan bagi setiap Negara anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan peraturan sebagai negara bendera kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai.
Ø Negara bendera kapal adalah Negara dimana suatu kapal didaftarkan
Ø Negara pelabuhan adalah Negara dimana suatu kapal berada di pelabuhan Negara itu.
Ø Negara pantai adalah Negara dimana suatu kapal berada di dalam zona maritim Negara pantai tersebut.
MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara berdera kapal, Negara Pantai dan Negara pelabuhan yang menjadi anggota mengetahui bahwa :
“ Pelanggaran terhadap peraturan konvensi yang terjadi di dalam daerah yurisdiksi Negara anggota dilarang dan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar dilakukan berdasarkan Undang-Undang Negara anggota itu”.
a. Juridiksi legislatif Negara bendera kapal
Berdasarkan hukum Internasional, Negara bendera kapal diharuskan untuk memberlakukan peraturan dan mengontrol kegiatan berbendera Negara tersebut dalam hal administrasi, teknis dan sarana sosial termasuk mencegah terjadi pencemaran perairan.
Negara bendera kapal mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi standar Internasional (antara lain MARPOL 73/78).
Tugas utama dari negara bendera kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka memnuhi standar teknik di dalam MARPOL 73/78 yakni :
- memeriksa kapal-kapal secara periodik
- menerbitkan sertifikat yang diperlukan
b. Juridiksi legislatif Negara pantai
Konvensi MARPOL 73/78 meminta Negara pantai memberlakukan peraturan konvensi pada semua kapal yang memasuki teoritialnya dan, tindakan ini dibenarkan oleh peraturan UNCLOS 1982, asalkan memenuhi peraturan konvensi yang berlaku untuk lintas damai (innocent passage) dan ada bukti yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran.
c. Juridiksi legislatif Negara pelabuhan
Negara anggota MARPOL 73/78 wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal yang berkunjung ke palabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan khusus bagi kapal-kapal yang bukan anggota.
Ini berarti ketaatan pada peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh memasuki pelabuhan semua Negara anggota.
Adalah wewenang dari Negara pelabuhan untuk memberlakukan peraturan lebih ketat tentang pencegahan pencemaran sesuai peraturan mereka. Namun demikian sesuai UNCLOS 1982 peraturan seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk disebar luaskan.
E. CARA-CARA UNTUK MEMENUHI KEWAJIBAN DALAM MARPOL 73/78
Persetujuan suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78 diikuti dengan tindak lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor :
Pemerintah
Administrasi bidang hukum
Administrasi bidang maritim
Pemilik kapal
Syahbandar (port authorities)
a. Pemerintah
Kemauan politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78 merupakan hal yang fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada pertimbangan karena :
1. Kepentingan lingkungan maritim di bawah yurisdiksi Negara itu.
2. Keuntungan untuk pemilik kapal Negara tersebut (Kapal-kapalnya dapat diterima oleh dunia Internasional).
3. Keuntungan untuk ketertiban di pelabuhan Negara itu (dapat mengontrol pencemaran) atau
4. Negara ikut berpartisipasi menjaga keselamatan lingkungan internasional.
Pertimbangan dan masukan pada Pemerintah untuk meretifikasi konvensi diharapkan datang dari badan administrasi maritim atau badan administrasi lingkungan dan dari industri maritim.
Dalam konteks ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78 menerima tanggung jawab tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun demikian di lain pihak mendapatkan hak istimewa, perairannya tidak boleh dicemari oleh Kapal Negara anggota lain. Kalau terjadi pencemaran di dalam teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan meminta ganti rugi. Negara yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab untuk melaksanakan peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal mereka tidak dapat dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila berada di dalam daerah teritorial Negara anggota).
Namun demikian harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi anggota berarti kalau pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh jaminan sesuai MARPOL 73.78 untuk menuntut kapal yang mencemarinya.
b. Administrasi hukum
Tugas utama dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab memberlakukan peraturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan peraturan MARPOL 73/78. Untuk memudahkan pekerjaan Administrasi hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan Administrasi maritim yang diberikan kewenangan meratifikasi, membuat peraturan dan melaksanakannya.
Agar peraturan dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk dilaksanakan, maka peraturan tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim perundang-undangan Nasional. Cara pelaksanaannya sesuai yang digambarkan dalam diagram berikut.
c. Administrasi maritim
Administrasi maritim yang dibentuk pemerintah bertanggung jawab melaksanakan tugas administrasi pemberlakuan peraturan MARPOL 73/78 dan konvensi-konvensi maritim lainnya yang sudah diratifikasi. Badan ini akan memberikan masukan pada Administrasi hukum dan Pemerintah di satu pihak dan membina industri perkapalan dari Syahbandar dipihak lain yang digambarkan dalam diagram berikut.
Tugas dari Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama dengan beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk meneliti tugas-tugas tersebut guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan memutuskan bagaimana memberlakukannya.
d. Pemilik Kapal
Pemilik kapal berkewajiban membangun dan melengkapi kapal-kapalnya dan mendiidk pelautnya, perwira laut untuk memenuhi peraturan MARPOL 73/78. Konpetensi dan ketrampilan pelaut harus memenuhi standar minimun yang dimuat dalam STCW-95 Convention.
e. Syahbandar (Port Authorities)
Tugas utama dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan buangan yang memadai sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai. Syahbandar juga bertugas untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan pencemar yang asalnya dari kapal berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV dan V MARPOL.
F. IMPLEMENTASU PERATURAN MARPOL 7378
Administrasi Maritim dalam melaksanakan tugasnya adalah bertindak sebagai :
a. sebagai pelaksanaan IMO
b. Legislation dan Regulations serta Implementation of Regulations
c. Instruction to Surveyor
d. Delegations of surveyor and issue of certificates
e. Records of Certifications, Design Approval, dan Survey Report
f. Equipment Approval, Issue of certificates dan Violations reports
g. Prosecution of offenders, Monitoring receptions facilities dan Informing IMO as required
Pemerikasaan dan Inspeksi yang dilakukan oleh Surveyor dan Inspektor
Garis besar tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan dalam diagram di atas adalah sebagai berikut :
a. Memeriksa kapal untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas ini hendaknya dilakukan oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas sesuai yang ditentukan oleh kantor pusat Administrasi maritim.
b. Inspeksi yang dilakukan oleh Syahbandar adalah bertujuan untuk mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan peraturan.
c. Investigasi dan penuntunan. Surveyor dan Inspector pelabuhan harus mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan konstruksi, peralatan dan pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan petunjuk dari pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut pihak-pihak yang melanggar.
G. IMPLEMENTASI PERATURAN MARPOL 73/78
a. Survey & pemeriksaan
b. Sertifikasi
c. Tugas Pemerintah
H. DAMPAK PENCEMARAN DI LAUT
Dampak pencemaran barang beracun dan berbahaya terutama minyak berpengaruh terhadap :
a. Dampak ekologi
b. Tempat rekreasi
c. Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga
d. Instalasi Industri
e. Perikanan
f. Binatang Laut
g. Burung Laut
h. Terumbu Karang dan Ekosistim
i. Tumbuhan di pantai dan Ekosistim
j. Daerah yang dilindung dan taman laut
I. DEFINISI-DEFINISI BAHAN PENCEMAR
Bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal terdiri dari muatan yang dimuat oleh kapal, bahan bakar yang digunakan untuk alat propulsi dan alat lain di atas kapal dan hasil atau akibat kegiatan lain di atas kapal seperti sampah dan segera bentuk kotoran.
Definisi bahan-bahan pencemar dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut :
a. “Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak mentah (crude oil) bahan bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak hasil penyulingan (refined product)
b. “Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang beracun dan berbahaya hasil produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker khusus (chemical tanker)
Bahan kimia dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A,B,C, dan D) berdasarkan derajad toxic dan kadar bahayanya.
Kategori A : Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan termasuk bekas pencuci tanki muatan dan air balas dari tanki muatan tidak boleh dibuang ke laut.
Kategori B : Cukup berbahaya. Kalau sampai tumpah ke laut memerlukan penanganan khusus (special anti pollution measures).
Kategori C : Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan yang agak khusus.
Kategori D : Tidak membahayakan, membutuhkan sedikit perhatian dalam menanganinya.
c. “Hamfull substances” Adalah barang-barang yang dikemas dalam dan membahayakan lingkungan kalau sampai jatuh ke laut.
d. Sewage”. Adalah kotoran-kotoran dari toilet, WC, urinals, ruangan perawatan, kotoran hewan serta campuran dari buangan tersebut.
e. “Garbage” Adalah tempat sampah-sampah dalam bentuk sisa barang atau material hasil dari kegiatan di atas kapal atau kegiatan normal lainnya di atas kapal.
Peraturan pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit dilaksanakan secara serentak, karena itu marpol Convention diberlakukan secara bertahap. Tanggal 2 Oktober 1983 untuk Annex I (oil). Disusul dengan Annex II (Noxious Liquid Substances in Bulk) tanggal 6 April 1987. Disusul kemudian Annex V (Sewage), tanggal 31 Desember 1988, dan Annex III (Hamful Substances in Package) tanggal 1 juli 1982. Sisa Annex IV (Garbage) yang belum berlaku Internasional sampai saat ini.
Annex I MARPOL 73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah pencemaran oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri dari 23 Regulation.
Peraturan dalam Annex I menjelaskan mengenai konstruksi dan kelengkapan kapal untuk mencegah pencemaran oleh minyak yang bersumber dari kapal, dan kalau terjadi juga tumpahan minyak bagaimana cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana usaha terbaik untuk menanggulanginya.
Untuk menjamin agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk mengisi buku laporan (Oil Record Book) yang sudah disediakan menjelaskan bagaimana cara awak kapal menangani muatan minyak, bahan bakar minyak, kotoran minyak dan campuran sisa-sisa minyak dengan cairan lain seperti air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang berwajib melakukan kontrol pencegahan pencemaran laut.
Kewajiban untuk menigisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20.
Appendix I Daftar dari jenis minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud dalam MARPOL 73/78 yang akan mencemari apabila tumpahan ke laut.
Appendix II, Bentuk sertifikat pencegahan pencemaran oleh minyak atau “IOPP Certificate” dan suplemen mengenai data konstruksi dan kelengkapan kapal tanker dan kapal selain tanker. Sertifikat ini membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi peraturan dalam reg. 4. “Survey and inspection” dimana struktur dan konstruksi kapal, kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam Annex I MARPOL 73/78.
Appendix III, Bentuk “Oil Record Book” untuk bagian mesin dan bagian dek yang wajib diisi oleh awak kapal sebagai kelengkapan laporan dan bahan pemeriksaan oleh yang berwajib di Pelabuhan.
J. USAHA MENCEGAH DAN MENANGGULANGI PENCEMARAN LAUT
Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut pada dasarnya sama dengan yang dilakukan sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak yang mencemari laut.
Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan perubahan penekanan dengan menitik beratkan pencegahan pencemaran pada kegiatan operasi kapal seperti yang dimuat didalam Annex I terutama keharusan kapal untuk dilengkapi dengan “Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems”.
Karena itu MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga) kategori dengan garis besarnya sebagai berikut :
a. Peraturan untuk mencegah terjadinya Pencemaran.
Kapal dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan peraturan yang diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan yang diangkut, bahan bakar yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi lainnya di atas kapal seperti sampah-sampah dan segala bentuk kotoran.
b. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi
Kalau sampai terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan maka diperlukan peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak pencemaran, mulai dari penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal guna mencegah dan membatasi tumpahan sampai kepada prosedur dari petunjuk yang harus dilaksanakan oleh semua pihak dalam menaggulangi pencemaran yang telah terjadi.
c. Peraturan untuk melaksanakan peraturan tersebut di atas.
Peraturan prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi peraturan Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan kapal. Pelanggaran terhadap peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus mendapat hukuman atau denda sesuai peraturan yang berlaku.
Khusus bahan pencemaram minyak bumi, pencegahan dan penanggulanganya secara garis besar dibahas sebagai berikut :
a. Peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh minyak.
Untuk mencegah pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal terutama tanker dalam Annex I dimuat peraturan pencegahan dengan penekanan sebagai berikut :
1. Regulation 13, Segregated Ballast Tanks, Dedicated Clean Tanks Ballast and Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW)
Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin pembuangan minyak karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang paling tidak salah satu dari ketiga sistem pencegahan :
- Segregated Ballast Tanks (SBT)
Tanki khusus air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak maupun tanki bahan bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa air balas tidak boleh melewati tanki muatan minyak.
- Dedicated Clean Ballast Tanks (CBT)
Tanki bekas muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas dari tanki tersebut, bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak di atas permukaan air dan apabila dibuang melalui alat pengontrol minyak (Oil Dischane Monitoring), minyak dalam air tidak boleh lebih dari 13 ppm.
- Crude Oil Washing (COW)
Muatan minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai media pencuci tanki yang sedang dibongkar muatnnya untuk mengurangi endapan minyak tersisa dalam tanki.
2. Pembatasan Pembuangan Minyak
MARPOL 73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954 mengenai Oil Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam semua bentuk termasuk minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau campuran minyak dengan kotorn lain dan fuel oil, tetapi tidak termasuk produk petrokimia (Annex II)
Ketentuan Annex I Reg.9. “Control Discharge of Oil” menyebutkan bahwa pembuangan minyak atau campuran minyak hanya dibolehkan apabila :
- Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut Mediteranean, Laut Baltic, Laut Hitam, Laut Merah dan daerah Teluk.
- Lokasi pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan
- Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar
- Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter /nautical mile
- Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari jumlah muatan.
3. Monitoring dan Kontrol Pembuangan Minyak
Kapal tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan “slop tank” dan kapal tanker ukuran 70.000 tons dead weight (DWT) atau lebih paling kurang dilengkapi “slop tank” tempat menampung campuran dan sisa-sisa minyak di atas kapal.
Untuk mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi dengan alat kontrol “Oil Dischange Monitoring and Control System” yang disetujui oleh pemerintah, berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO. Sistem tersebut dilengkapi dengan alat untuk mencatat berapa banyak minyak yang ikut terbuang ke laut. Catatan data tersebut harus disertai dengan tanggal dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak harus dengan otomatis menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak yang ikut terbuang sudah melebihi amabang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a) “Control of Discharge of Oil”.
4. Pengumpulan sisa-sisa minyak
Reg. 17 mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk kapal ukuran 400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki penampungan dimana ukurannya disesuaikan dengan tipe mesin yang digunakan dan jarak pelayaran yang ditempuh kapal untuk menampung sisa minyak yang tidak boleh dibuang ke laut seperti hasil pemurnian bunker, minyak pelumas dan bocoran minyak dimakar mesin.
Tanki-tanki penampungan dimaksud disediakan di tempat-tempat seperti :
- Pelebuhan dan terminal dimana minyak mentah dimuat.
- Semua pelabuhan dan terminal dimana minyak selain minyak mentah dimuat lebih dari 100 ton per hari.
- Semua daerah pelabuhan yang memiliki fasilitas galangan kapal dan pembersih tanki.
- Semua pelabuhan yang bertugas menerima dan memproses sisa minyak dari kapal.
b. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran oleh minyak
Sesuai Reg. 26 “Shipboard Oil Pollution Emergency Plan” untuk menanggulangi pencemaran yng mungkin terjadi maka tanker ukuran 150 gross ton atau lebih dan kapal selain tanker 400 grt atau lebih, harus membuat rencana darurat pananggulangan pencemaran di atas kapal.
c. Peraturan pelaksanan dan ketentuan pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh minyak.
Pencegahan dan penaggulangan pencemaran yang datangnya dari kapal tanker, perlu dikontrol melalui pemeriksaan dokumen sebagai bukti bahwa pihak perusahaan pelayaran dan kapal sudah melaksanakannya dengan semestinya.
STWC 78 AMANDEMEN 95
( S T C W ‘ 95 )
PENDAHULUAN
1. Tahun 1966 dicanangkan sebagai tahun bahari
1. Indonesia dengan 17.556 pulau dihadapkan pada tuntutan kualitas pelaut, yaitu dengan pemberlakukan stcw 1978 amandemen 1995 (stcw 78 amandeman 95).
2. Era globalisasi diwarnai persaingan bebas yang semakin ketat disegala bidang, termasuk persaingan sumber daya manusia.
3. Azas persaingan adalah : efisiensi, efektivitas, disamping faktor keselamatan dan faktor lingkungan.
4. Ruang lingkup kegiatan pendidikan kepelautan menyangkut aspek yang sangat luas, pelik dan beragam.
2. Pendidikan kepelautan harus mendapat akreditasi :
1. Nasional : sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
2. Internasional : standar internasional harus dipenuhi, yaitu stwc 1995. Pengawasan melalui port state control untuk meyakinkan apakah para pelaut memiliki sertifikat dan kompetensi sesuai stcw 1995 tersebut.
BEBERAPA FAKTA :
1. Minat pemuda / pemudi Indonesia cukup tinggi. Tahun 1995 mencapai 7.000 orang, diterima sebanyak 500 orang (plap Jakarta, bplp Semarang dan bplp ujung pandang).
2. Tingkat rating sebanyak 120 peminat, diterima sebanyak 300 siswa di bplpd berombong dan bplpd Surabaya.
3. Diantara negara Asean, Indonesia merupakan negara yang terbanyak dalam meratifikasi konvensi imo, yaitu 17 dari 48 konvensi yang
dikeluarkan sampai dengan tahun 1995, sementara singapura 15 konvensi; malaysia 11 konvensi ; philipina 9 konvensi dan thailand 8 konvensi.
AMANDEMEN 1995 KONVENSI SCTW 1978
Materi amandemen
1. Resolusi
Final act tanggal 7 Juli 1995 di London menetapkan :
Resolusi 1 : acoption of amandements of the annex to international on stcw 1978 ;
Resolusi 2 : adoption of the seafarers training, certification and watchkeeping code;
Resolusi 3 : transitional provisions ;
Resolusi 4 : training of radio operators for the global maritime distress and safety system (gmdss)
Resolusi 5 : training and crisis management and human behaviour for personal serving on board ro-ro passenggers ships;
Resolusi 6 : training of personal on passenggers ships ;
Resolusi 7 : monitoring the implication of alternative certification;
Resolusi 8 : promotion of technical knowlodge, skills and profesionalsm of seafarers ;
Resolusi 9 : development of International standars of medical fitness for seafarers ;
Resolusi 10 : training of maritime pilots, vessel traffics service personal and maritime personal employed on mobile offshore units ;
Resolusi 11 : promotion of technical cooperation ;
Resolusi 12 : contribution of the world maritime university (vmu) in the achievement of enhanced standards of maritime training ;
Resolusi 13 : revision of model courses published by the international maritime organization ;
Resolusi 14 : promotion of the participation of women in the maritime industry ;
2. Perubahan yang dilakukan terhadap sctw 1978
a. Alasan perlu diadakan perubahan :
Ø Konvensi yang ada belum secara tepat menjabarkan standar kompetensi sehingga dapat menimbulkan interprestasi yang berbeda-beda.
Ø Pelaksanaan ketentuan yang ditetapkan tidak berjalan dengan sepenuhnya, walaupun telah diratifikasi oleh negara-negara anggota ;
Ø Konvensi yang ada kurang mampu menanmpung perkembangan sistem manajemen kapal abad 21.
b. Amandemen 1995 ditandai dengan munculnya 3 hal baru :
Ø Tanggung jawab tambahan bagi perushaan pelayaran ;
Ø Keseragaman penjabaran standard kompetensi ‘
Ø Langkah-langkah baru untuk menjamin pelaksanaan oleh setiap negara.
3. Pemberlakuan, batasan dan struktur amandemen
a. Pemberlakuan :
Ø 1 Pebruari 1997 mulai berlaku
Ø 1 Agustus 1998 setiap lembaga diklat telah mengimplementasikan sctw 1995
Ø 1 Agustus 1998 sampai dengan 1 Pebruari 2002 merupakan masa transisi
Ø 1 Pebruari 2002 masa transisi berakhir.
b. Ukuran kapal :
Ø Untuk bagian dek :
¨ Ukuran 200 grt diganti 500 gt
¨ Ukuran 1600 gt diganti 3000 gt
Ø Untuk bagian mesin tetap dipakai ukuran 750 kw dan 3000 kw.
c. Struktur amandemen :
Ø Convention on standard of training and watchkeeping for seafarers (sctw convention) terdiri dari :
¨ 17 artikel
¨ Anex terdiri dari 8 chapter (8bab)
Ø Seafarers training, certification and watchkeeping code (stcw code), terdiri dari :
¨ Part a : mamdatory requirements
Standard konvensi yang diminta :
- Navigation
- Cargo handling and stowage
- Controling the operation of the ship and care for persons on board
- Marine engineering
- Electrical, electronic and control engineering
- Maintenance and repair
- Radio communication
Tingkatan tanggung jawab :
- Management level
- Operational level
- Supporting level
¨ Part b : recommended guidance
Merupakan petunjuk petunjuk yang tidak wajib diikuti tetapi jangan melanggarnya.
Dampak terhadap sistem diklat, ujian dan sertifikasi :
A. Terhadap diklat
1. Kurikulum dan silabus perlu penyesuaian (imo model course), ditambah muatan likal sesuai sistem pendidikan nasional ;
2. Standarisasi penerimaan taruna dan siswa peserta program diklat
3. Fasilitas dan peralatan sesuai standar yang ditetapakan khususnya arpa, gmdss, peralatan praktek bengkel dan lain-lain.
4. Melengkapi, menambah buku dan diktat sesuai irno model course
5. Peningkatan tenaga pengajar dan penguji
6. Standarisasi kegiatan praktek di kapal (sea trainign /proyek laut) dengan buku panduan sesuai ketentuan imo.
B. Terhadap sertifikasi
1. Jurusan nautika
a. MPB – I menjadi ANT – I sesuai reg.II/2 > 3.000 gt
b. MPB – II menjadi ANT – II sesuai reg II /2 500 – 3.000 gt
c. MPB – III menjadi ANT – III sesuai reg II/1 dan II/3 Non NCV
d. MPI menjadi ANT – IV sesuai reg. II/3 NCV
e. MPT menjadi ANT-V diatur tersendiri
f. Rating (SKP) menjadi ANT-D sesuai reg II / 4
2. Jurusan nautika
a. AMK – C menjadi ATT – I sesuai ref. III /2 C/E
b. AMK – B menjadi ATT – II sesuai reg. III /2 2/e
c. AMK – A menjadi ATT – III sesuai reg. III /1
d. AMK – PI menjadi ATT – IV sesuai reg. III /3
e. AMK – PT menjadi ATT – V diatur tersendiri
f. Rating (SKP) menjadi ATT – D sesuai reg. III /4.
ISM CODE
( INTERNATIONAL SAFETY MANAGEMENT CODE )
ELEMEN 1 : UMUM
1.1. Definisi
1.1.1. ISM Code
Adalah standard manajemen Internasional mengenai pengoperasian kapal secara aman dan pencegahan pencemaran
1.1.2. Company (Perusahaan)
Ø Pengusaha kapal atau pencarteran bareboat
Ø Bertanggung jawab atas pengo-perasian kapal dan ISM Code
1.1.3. Administration (Pemerintah)
Ø Pemerintah Negara Bendera
Ø Melakukan pengaturan agar ISM Code dilaksanakan oleh perusahaan.
Ø Melakukan vertifikasi /Penilaian atau menunjuk suatu lembaga untuk melaksanakan
Ø Memberikan sertifikasi
1.2. Sasaran
1.2.1. Sasaran ISM Code secara umum adalah :
Ø Keselamatan di laut
Ø Pencegahan pencemaran (polusi) lingkungan, khususnya lingkungan laut.
1.2.2. Sasaran Sistem Manajemen Keselamatan (Sms) Perusahaan :
Ø Menyusun cara melaksanakan operasi kapal dan menyediakan lingkungan kerja yang aman.
Ø Siap menghadapi segala resiko yang mungkin terjadi
Ø Terus menerus meningkatkan ketrampilan personil di darat dan di kapal di dalam melaksanakan manajemen keselamatan;
Ø Kesiapan menghadapi keadaan darurat dalam hal keselamatan dan perlindungan lingkungan.
1.2.3. Sistem Keselamatan Kerja Harus Menjamin
Ø Dipatuhinya ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan ;
Ø Memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standard-standard yang dianjurkan oleh IMO, Pemerintah, Badan Klasifikasi maupun organisasi maritim lainnya.
1.3. Peerapan ISM Code
Ø Dapat ditetapkan bagi semua kapal
Ø Diatur oleh pemerintah masing-masing negara bendera ‘
1.4. Persyaratan-Persyaratan Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Yang Harus Dibuat, Dilaksanakan Dan Dipelihara Oleh Setiap Perusahaan.
Ø Kebijakan dan prosedur untuk menjamin pengoperasian kapal
Ø Petunjuk dan prosedur untuk menjamin pengoperasian kapal secara aman dalam perlindungan lingkungan sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.
Ø Prosedur pelaporan bila terjadi kecelakaan atau ketidaksesuain dengan ketentuan dalam sistem manajemen.
Ø Prosedur persiapan dan respon terhadap keadaan darurat,
Ø Prosedur untuk internal audit dan tinjauan manajemen.
K. ELEMEN 3 : TANGGUNG JAWAB DAN KEWENANGAN PERUSAHAAN
3.1. Pihak yang melaksanakan tanggung jawab
Ø Bila pengusaha kapal menyerahkan tanggung jawab kepada pihak lain, harus melaporkan hal ini kepada pemerintah.
Ø Informasi yang dilaporkan : nama kapal, call sign, nomor registrasi, type kapal, gross tonnage, nama pemilik dan alamat, pihak lain yang menerima tanggung jawab.
3.2. Perusahaan menetapkan dan mendokumentasikan
Ø Struktur organisasi di kapal dan di darat
Ø Hubungan antar personil kapal dan darat
Ø Uraian tugas bagi personil yang bertanggung jawab atas terlaksananya SMS (Safety management System) dengan maksud pembagian tugas jelas, tidak tumpang tindih, setipa personil mengetahui tugas dan tanggung jawab masing-masing, menghidari penyimpangan tugas, personil baru mudah mengetaui tugasnya, mempercepat pengambilan keputusan dengan benar.
Ø Tim tanggap darurat.
3.3. Tersedianya Sumber Daya
Ø Perusahaan bertanggung jawab atas tersedianya sumber daya : SDM Terlatih, ; peralatan , dana, Informasi dan Waktu
ELEMEN 6 : SUMBER DAYA PERSONIL
6.1. NAHKODA
Perusahaaan menjamin bahwa nahkoda :
Ø Mempunyai kemampuan sebagai pimpinan dan memberikan perintah
Ø Memahami benar SMS perusahaan
Ø Diberi dukungan sepenuhnya sehingga tugas dan tanggung jawabnya dapat terlaksana dengan naik.
6.2. Awak Kapal
Ø Setiap kapal harus diawaki oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan terlatih.
Ø Memiliki sertifikat sesuai ketentuan nasional kapal niaga STCW 1995)
6.3. FAMILIARISASI
Ø Setiap personil yang baru ditugaskan di suatu kapal harus diberikan pengenalan (Familiarization) mengenai tugas-tugas serta lingkungan kerja sesuai jabatannya.
Ø Untuk ini harus dibuat prosedur tertulis (Documented)
6.4. Peraturan Keselamatan
Ø Setiap personil darat/kapal harus memahami benar setiap peraturan yang terkait dengan keselamatan dan perlindungan lingkungan antara lain SOLAS dan MARPOL
6.5. Pelatihan
Ø Harus dibuat prosedur pelatihan yang diperlukan dan pelaksanaannya bagi setiap personil;
Ø Pelatihan meliputi : Familiarisasi, ketrampilan proficiency BST, TFC, AFF dan lain-lain).
Ø Catatan pelatihan secara terkendali dan menjadi objective evidence;
6.6. Prosedur Ditulis Dalam Bahasa Yang Dapat Dimengerti.
Ø Dalam beberapa bahasa apabila diperlukan
Ø Dalam bahasa sehari-hari (istilah-istilah yang digunakan tidak asing).
Ø Dalam bahasa yang jelas dan singkat sehingga mudah dimengerti;
Ø Tidak memberikan arti ganda ;
Ø Sistematika dan berurutan
6.7. Setiap personil harus mampu berkomunikasi secara efektif khususnya berkaitan dengan SMS
Ø Hal ini dapat tercapai apabila terlatih dan bahasa yang dipakai dalam SMS sederhana.
PSC
( PORT STATE CONTROL )
Port State Control diperlukan utnuk :
1. Pelaksanaan Ketentuan-ketentuan untuk PSC dalam Konvensi-Konvensi IMO.
2. Memeriksa kapal-kapa berbendera bukan negara peserta Konvensi
3. Memeriksa kapal-kapal dibawah ukuran konvensi
4. Identifikasi kapal-kapal di bawah standard atau resiko-resiko pencemaran
5. Melakukan Pengawasan melalui pemonitoran (Monitoring Control)
1. Ketentuan-ketentuan untuk PSC dalam Konvensi-konvensi IMO
Konvensi-konvensi IMO yang berhubungan dengan kapal menempatkan tanggung jawab untuk keselamatan dan perlindungan lingkungan laut pada Negara bendera. Namun demikian, hal ini diakui bahwa suatu negara pelabuhan dapat memberikan kontribusi yang berguna untuk tujuan dimaksud dan beberapa konvensi ( SOLAS 74/78, MARPOL 73/78, Load Line 66, SCTW 78/95 dan ILO No. 147) memuat ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Negara-Negara Pelabuhan untuk melakukan pengawasan terhadap diterapkannya persyaratan-persyaratan konvensi di bidang keselamatan dan pencegahan-pencegahan.
2. Kapal-kapal berbendera negara bukan peserta.
Pengawasan dilakukan oleh Negara Pelabuhan didasarkan pada prinsip bahwa Negara Pelabuhan mengakui sertifikat-sertifikat Internasional yang diterbitkan oleh atau atas nama Negara Bendera. Hal ini perlu dimengerti bahwa pengakuan dimaksud adalah suatu hak istimewa yang hanya diberikan kepada negara peserta konvensi. Negara bukan peserta konvensi tidak boleh menerbitakan sertifikat-sertifikat dimaksud. Namun negara ini dapat menerbitkan tersebut atas kewenangan yang diberikan oleh suatu negara peserta konvensi sesuai ketentuan-ketentuan konvensi yang terkait. Sumber langsung yang memberikan kewenangan untuk melaksanakan program adalah Undang-Undang Nasionalnya. Oleh karena itu, adalah perlu bagi Negara Pelabuhan untuk menjadi peserta dari konvensi-konvensi dan memiliki legilisasi yang diperlukan untuk melakukan pengawasan (Post State Control)
Ratifikasi konvensi-konvensi adalah suatu proses yang berkesinambungan dan Negara-Negara Pelabuhan harus mengikuti perkembangan akan negara-negara lain yang telah meratifikasi konvensi-konvensi terkait dalam rangka pemeriksaan. Informasi ini dikeluarkan oleh Sekretariat IMO melalui surat edarannya (Circulars).
Circulars yang berhubungan dengan konvensi-konvensi untuk port State control adalah sebagai berikut :
Ø Cir. SLS 12 tentang SOLAS 1974
Ø Circ. PMP.2 tentang MARPOL 73/78
Ø Circ. LL tentang LL 1966
Ø Circ. STCW tentang STCW 1978
Ø Circ. CORLEC tentang CORLEG 1972
1.3. Kapal-kapal di bawah ukuran konvensi
Konvensi-konvensi maritim pada umumnya mempunyai batas-batas pemberlakukan untuk setiap kategory dari ukuran kapal-kapal. Hal ini dapat berhubungan dengan tonase, panjang kapal atau parameter lainnya terhadap kapal dan juga dalam konvensi-konvensi tertentu terhadap umur dan kapal daerah pelayaran. Batas-batas aplikasi dimaksud tidak hanya menyangkut akan sertifikat-sertifikat tetapi juga kapal-kapal beserta perlengkapannya; dengan kata lain, dalam sejumlah kasus, diisyaratkan tidak perlu sertifikat, sedangkan dalam kasus-kasus lain sebuah kapal dibebaskan dari desain atau persyaratan-persyaratan perlengkapan. Hal ini tidak merubah faktanya bahwa kapal-kapal dimaksud hanya boleh diizinkan berlayar jika keselamatan dan perlindungan terhadap lingkungan laut terjamin. Adalah lazim bahwa kapal-kapal tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan dari Negara Bendera, yang mungkin tidak diketahui oleh para Inspektur dari Negara Pelabuhan. Oleh karena itu, PSCO (Post State Control Officer) harus memakai kebijaksanaannya dalam mempertimbangkan akan kondisi kapal-kapal tersebut; mereka dapat dibantu dalam hal ini dengan beberapa bentuk sertifikat yang diterbitkan oleh atau atas nama Negara Bendera yang terkait.
1.4. Identifikasi kapal-kapal di bawah standar atau resiko-resiko pencemaran
Identifikasi kapal-kapal di bawah standar atau kapal-kapal yang dapat menimbulkan resiko pencemaran adalah jelas merupakan suatu hal yang memerlukan pertimbangan secara profesional. Pengalaman-pengalaman yang lampau memperlihatkan bahwa interprestasi dapat berbeda-beda diantara negara-negara. Kesukaran dalam menetapkan kapal-kapal demikian direfleksikan dalam pedoman tentang pengawasan negara pelabuhan (Guidelines On Port State Control), yang hanya diberikan secara umum. Suatu prinsip yang perlu diingat adalah perlengkapan yang diisyaratkan oleh konvensi harus ada dan telah diservis, kedua-duanya. Jika tidak, maka kapal tidak sesuai dengan sertifikat dan tindakan perbaikan harus segera diambil. Walaupun demikian, adalah nyata bahwa suatu perbedaan antara kegagalan dari suatu perlengkapan dimana tidak ada pendukungnya, misalnya sebuah “oily water separator” dan rusaknya salah satu bagian dari mesin pencuci tangki.
1.5. Pengawasan Secara regional (kawasan)
Kerjasama pengawasan dalam suatu kawasan dituangkan dalam sebuah memorandum, yang disebut dengan “Memorandum of Understanding”.
Sejumlah kawasan di dunia yang telah melakukan kerjasama adalah :
Ø The Paris Memorandum Of Understanding on Port State Control (Paris MOU), adopted on Paris on 1 July 1982;
Ø The Acuerdo de Vina del Mar (Vina de Mar or Latin America Agreement), signed in Vina del Mar (Chile) on 5 November 1992.
Ø The Memorandum of Understanding on Port State Control in the Asia-Pacific Region (Tokyo MOU), signed in Tokyo (Japan) on 1 December 1993;
Ø The memorandum of Understanding on Port State Control on the Caribbean Region (Caribbean MOU), signed in Christchurch (Barbados) on 9 February 1996;
Ø The Memorandum of Understanding on Post State Control in the Mediterranean Region (Mediterranean MOU), signed in Malta on 11 Juli 1997.
Ø The Indian Ocean Memorandum Understanding on Post State Control (Indian Ocean MOU), signed in Pretoria (SOUTH Africa) on 5 June 1998 ;
Ø The Memorandum of Understanding on Port State Control in the west and Central African Region (Abuja MOU), signed in Abuja on 22 October 1999;
Ø The memorandum of Understanding on Port State Control in the Persian Gulf Region (………..MOU), signed in ……. On ………(2000)
1.6. Pengawasan melalui pemonitoran (Monitoring Control)
Pengawasan dilakukan dengan suatu tujuan atau maksud dan dalam hal ini dalam hal ini tujuan atau maksdudnya adalah untuk memperbaiki pemenuhan dengan sejumlah konvensi, yang harus direfleksikan dalam pengurangan kecelakaan dan pencemaran. Statistik kecelakaan dikomplikasikan oleh sejumlah lembaga, antara lain Lyloys’s (casualty statistic by Lloyd’s) tetapi catatan yang akurat dan statistik yang dibuat oleh Negara-negara Pelabuhan harus menunjukkan apakah kekurangan-kekurangan (deficiences) dan laporan-laporan pencemaran menurun berkurang. Adalah penting bahwa informasi demikian dikumpulkan pada suatu kawasan dan atas dasar dunia luas. Sehubungan dengan hal terakhir ini, IMO memegang peranan penting dalam memelihara catatan-catatan dan statistik tentang hasil-hasil pengawasan oleh Negara Pelabuhan.
Port State (Negara Pelabuhan)
Istilah “Post State” (Negara Pelabuhan) dipakai untuk menjelaskan bahwa suatu negara dimana ada lokasi pelabuhan laut. Konvensi-konvensi International tentang keselamatan maritim dan pencegahan pencemaran mengizinkan suatu negara untuk memeriksa kapal asing dalam salah satu pelabuhan-pelabuhannya untuk memastikan bahwa kapal tersebut secara substansi memenuhi standar-standar untuk sertifikat-sertifikat internasional yang diisyaratkan untuk dibawsa atau berada di kapal.
Secara internasional disetujui prosedur-prosedur didasarkan atas asumpsi bahwa sebuah kapal akan memenuhi semua persyaratan-persyaratan konvensi. Jika sertifikat-sertifikat kapal masih berlaku dan kesan-kesan umum serta dari pengamatan secara visual menampakkan adanya suatu standar pemeliharaan yang baik, maka pejabat pemeriksa dipelabuhan atau disebut inspektur hanya akan memeriksa kekurangan-kekurangan atau “deficiencies” yang dilaporkan.
Jika inspektur merasa pasti ada dasar-dasar yang kuat (clear grounds) bahwa sebuah kapal mungkin di bawah standar (sub-standars ship), suatu pemeriksaan yang lebih rinci dapat dilakukan.
Hal ini adalah penting untuk mengakui bahwa pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan oleh negara pelabuhan (Post State Control Inspections) adalah suatu langkah tindakan kedua yang didesain untuk menambah atau suplemen pengaturan pengawasan negara bendera.
Sifat pemeriksaan-pemeriksaan PSC yang terutama berhubungan dengan perlengkapan keselamatan kapal tidak mengizinkan untuk melakukan pengujian struktural sesungguhnya. Pemeriksaan-pemeriksaan PSC tidak didesain untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan struktural utama.
Jika dijumpai adanya kerusakan-kerusakan maka negara pelabuhan hanya bertanggung jawab untuk memastikan agar kerusakan-kerusakan tersebut diperbaiki.
Kerusakan-kerusakan tersebut mungkin diminta untuk diperbaiki sebelum kapal berlayar. Keharusan untuk perbaikan didasarkan pada keruskan yang serius. Kapal dapat ditahan hingga perbaikan-perbaikan telah dilakukan atau harus dikerjakan dalam kurun waktu tertentu atau mungkin dapat diperbaiki di pelabuhan yang akan dikunjungi berikutnya.
Clear Grounds
Dasar-dasar yang kuat untuk melakukan suatu pemeriksaan lebih terinci,
Termasuk :
1. Tidak adanya perlengkapan/peralatan pokok (principal) atau penataan-penataan (arrangements) yang diisyaratkan oleh Konvensi-Konvensi
2. Bukti dari penelitian sertifikat-sertifikat kapal bahwa suatu sertifikat atau sertifikat adalah jelas tidak berlaku;
3. Bukti bahwa buku-buku jurnal kapal, manual-manual atau dokumentasi lainnya yang diisyaratkan tidak ada di kapal, tidak terpelihara, atau salah pemeliharaan;
4. Bukti dari kesan-kesan umum pejabat pemeriksa dan observasi-observasi bahwa keadaan sesungguhnya badan kapal atau keburukan struktural atau kekurangan-kekurangan yang ada dapat menimbulkan resiko bahaya pada struktur kapal kedap air atau integritas kedap cuaca dari kapal;
5. Bukti dari kesan-kesan umum pejabat pemeriksa atau observasi-observasi bahwa adanya kekurangan-kekurangan yang sesungguhnya dalam keselamatan, pencegahan pencemaran, atau perlengkapan navigasi;
6. Informasi atau bukti bahwa Nahkoda atau awak kapal tidak terbiasa (non familiar) dengan operasi-operasi penting di atas kapal sehubungan dengan keselamatan kapal atau pencegahan pencemaran, atau operasi-operasi dimaksud belum pernah dilakukan.
7. Indikasi-indikasi bahwa anggota-anggota kunci awak kapal tidak mampu berkomunikasi satu dengan lainnya atau dengan orang-orang yang lain di atas kapal.
8. Tidak adanya daftar kapal yang muktakhir, bagan / pola pengawasan kebakaran, dan untuk kapal-kapal penumpang, satu bagan / pola pengawasan kerusakan (damege control plan)
9. Emisi tanda-tanda bahaya yang salah (false distress alerts) tidak diikuti dengan prosedur-prosedur pembatalan yang tepat.
10. Menerima suatu laporan atau pengaduan yang berisi informasi bahwa kapal nampak di bawah standar (sub-standard ship).
Pemeriksaan-Pemeriksaan (Inspections)
1. menurut procedur pengawasan pemeriksaaan dilandaskan pada konveksi-konveksi yang diterapkan. Pemeriksaan juga dapat dilakukan misalnya dari informasi yang diberikan oleh suatu negara pelabuhan sehubungan dengan keadan suatu kapal dan seorang PSCO (Porth State Control Officer) dapat langsung menuju ke kapal dimaksud. Sebelum naik ke kapal, ia akan mengamati penampilan kapal di laut atau dermaga.
2. Pada kesempatan pertama dimungkinkan, PSCO harus meyakinkan akan tahun pembangunannya dan ukuran kapal untuk menetapkan ketentuan-ketentuan /peraturan-peraturan mana dari konvensi-konvensi yang akan diterapkan.
3. Pada waktu naik ke kapal dan memperkenalkan diri kepada Nahkoda atau perwira kapal yang bertanggung jawab, PSCO kemudian memeriksa dan meneliti sertifikat-sertifikat serta dokumen-dokumen kapal yang diisyartkan.
4. Jika semua sertifikat masih berlaku dan kesan umum PSCO serta observasi-observasi yang nampak di kapal memastikan bahwa suatu pemeliharaan kapal terlihat baik, maka pada umumnya ia akan membatasi langkah-langkah pemeriksaannya dan hanya mengisi form A sedangkan form B jika dari observasi yang dilakukan dijumpai kekurangan-kekurangan (deficiencies)
5. Namun, apabila dari kesan umum PSCOP atau observasinya di atas kapal ada dasar-dasar yang kuat (clear grounds) untuk meyakinkan bahwa kapal, perlengkapannya atau awak kapalnya secara substansial tidak memenuhi persyaratan-persyaratan, maka, maka PSCO harus meneruskan pemeriksaannya secara lebih rinci (more detailed inspection).